Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden Kembali Diuji di MK

Hadar mengatakan, pihaknya memiliki alasan yang berbeda dari beberapa permohonan sebelumnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Jun 2018, 19:07 WIB
Sebagian dari pemohon pengajuan uji materi Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (21/6). Mereka mengajukan uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan praktisi dan akademisi menggugat aturan tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dengan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu sudah didaftarkan sejak 13 Juni 2018.

"Kami mengajukan permohonan ini sebagai orang-orang yang non-partisan, tidak ada tujuan untuk kepentingan pasangan calon tertentu atau partai politik tertentu dalam pemilihan presiden atau pemilu kita yang kurang lebih 10 bulan lagi," kata mantan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (21/6/2018).

Dia mengatakan, pihaknya memiliki alasan yang berbeda dari beberapa permohonan sebelumnya. Salah satu alasannya adalah dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menggunakan frasa 'syarat' pencalonan presiden, sedangkan di UU Dasar 1945 Pasal 6A ayat 5 hanya mendelegasikan 'tatacara'.

"Pengaturan di Pasal 222 itu bukan pengaturan tatacara yang sebetulnya dimandatkan dari UUD kita, tapi justru itu mengenai syarat," ungkap Hadar.

"Jadi di Pasal 222 itu, parpol atau gabungan parpol yang bersyarat yaitu punya 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari Pemilu 2014. Jadi itu bukan tatacara, padahal konstitusi memerintahkan pengaturan tatacara diatur pada UU selanjutnya," imbuh dia.

Alasan lainnya, Pasal 222 ini bertentangan dengan Pasal 6 ayat 2 UU Dasar 1945. Kemudian, tambah Hadar, penghitungan presidential threshold berdasarkan pemilu DPR ini sudah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu serta melanggar Pasal 22E ayat 1 dan 2.

Presidential treshold juga ditakutkan bisa menghilangkan esensi pemilihan presiden karena berpotensi menghadirkan calon tunggal. Hal itu, lanjut dia juga bertentangan dengan Pasal 6A ayat 1, 3 dan 4.

"Kalau dalam pemilihan hanya ada satu calon itu bukan pemilihan. Jadi pengaturan presidential treshold 20 persen berpotensi sangat bertentangan dengan konstitusi kita," ujar Hadar.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Pembatalan Pasal 222

Sebagian dari pemohon pengajuan uji materi Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 mengangkat tulisan di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (21/6). Mereka mengajukan uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Permasalahan presidential threshold ini, kata dia, bisa terus digugat jika memiliki alasan yang berbeda disetiap gugatannya. Karena itu ia berharap MK bisa segera memberikan keputusan dari gugatan ini terutama untuk membatalkan keberadaan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Kami juga memohonkan agar pembatalan Pasal 222, yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak Pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014," jelas Hadar.

Permohonan uji materi ini diajukan 12 orang praktisi dan akademisi, seperti M Busyro Muqoddas, M Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar N Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil A Simanjuntak, dan Titi Anggraini. Berikut alasan lengkap berbeda pengajuan permohonan yang diajukan:

Reporter: Sania Mashabi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya