Liputan6.com, Pyongyang - Selama beberapa bulan terakhir, Korea Utara mengubah bentuk propagandanya. Poster dan spanduk yang bertebaran di Pyongyang tak lagi menampilkan Amerika Serikat sebagai agresor imperialis yang brutal.
Pun dengan Jepang dan Korea Selatan yang tak lagi digambarkan sebagai sekutu jahat AS.
Tak ada lagi poster yang menampilkan ilustrasi rudal Korut menghancurkan AS, atau pasukan rezim Kim yang melibas penjajah.
Baca Juga
Advertisement
Seperti dikutip dari BBC News, Sabtu (23/6/2018), mereka yang mengunjungi Korut baru-baru ini menyaksikan bahwa poster-poster lawas yang menyebut AS sebagai musuh bebuyutan digantikan dengan propaganda tentang pentingnya kemajuan ekonomi dan mengampanyekan pendekatan hubungan dua Korea.
Media massa di Korut, yang dikontrol ketat rezim Kim Jong-un, juga mengubah nada suaranya. Yang awalnya mengobarkan permusuhan pada AS, Jepang, dan Korsel, kini merefleksikan perkembangan upaya diplomatik terbaru pada rakyat Korea Utara.
Media dan propaganda punya arti penting bagi rakyat Korea Utara. Sebab, sebagian besar dari mereka punya akses yang sangat terbatas terhadap informasi dari luar.
"Poster-poster bernada kasar biasanya dikeluarkan hanya ketika hal-hal buruk terjadi di tataran global," kata Andray Abrahamian dari Griffith University kepada BBC. Misalnya, saat ketegangan dengan Amerika Serikat sedang memuncak.
Jadi, ketika situasi lebih positif, propaganda pun akan mengikuti arus.
Setelah terlihat adu retorika dan saling ancam dengan AS, Donald Trump dan Kim Jong-un menggelar pertemuan bersejarah di Singapura. Komitmen ditandatangani keduanya, salah satunya soal denuklirisasi secara menyeluruh di Semenanjung Korea.
Para pemadu wisata asing, yang membawa kelompok tur ke negara paling menutup diri di muka Bumi itu mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, narasi propaganda telah berubah secara signifikan.
Mayoritas memberikan pesan positif, misalnya dengan memuji Deklarasi Panmunjom yang ditandatangani Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in.
"Semua poster anti-Amerika, yang biasanya terlihat di sekitar Alun-Alun Kim Il-sung dan di toko-toko menghilang," kata Rowan Beard, manajer tur di Young Pioneer Tours, kepada kantor berita Reuters.
"Selama lima tahun bekerja di Korea Utara, saya belum pernah melihat poster-poster itu menghilang sepenuhnya," kata dia.
Dari sisi penampilan, poster-poster baru tak ada bedanya dengan yang lawas. Namun, pesan yang terkandung berubah 180 derajat, tentang reunifikasi Korea, kemajuan ekonomi dan pencapaian di bidang sains.
Perubahan tersebut logis. Jika pembicaraan Kim Jong-un dengan pemimpin Korsel dan Donald Trump dianggap sebagai awal kemungkinan kerja sama di masa depan, maka mereka yang pernah jadi musuh bebuyutan harus ditampilkan lebih netral dan kurang mengancam.
"Pyongyang membutuhkan suasana damai dan kondusif. Poster propaganda semacam itu akan membantu menciptakannya," kata Fyodor Tertitskiy dari NK News.
Bahkan pernak-pernik anti-Amerika yang dulunya dijual kepada turis sebagai suvenir mulai menghilang. Tak ada lagi kartu pos, poster atau perangko yang memuat gambar misil Korut menuju Washington.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Media Massa Korut Berubah Sikap
Perubahan signifikan juga terjadi pada media masa Korut. Sebelumnya, surat kabar maupun televisi kerap membawakan laporan negatif tentang Amerika Serikat.
Media berpengaruh Rodong Sinmun kerap menggambarkan Washington sebagai kekuatan yang merusak dan menyebut keterlibatan AS dalam konflik seperti di Suriah sebagai bukti imperialisme.
Menjelang pertemuan Kim Jong-un dan Donald Trump di Singapura 12 Juni 2018 lalu, media massa yang selalu mengkritik AS itu mendadak diam.
Menyusul hasil positif KTT di AS-Korut, Rodong Sinmun menampilkan gambaran besar dari pertemuan tersebut, sekaligus memuji Kim Jong-un sebagai negarawan global dan pencipta perdamaian.
Belakangan, berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, televisi dan surat kabar melaporkan perjalanan Kim Jong-un baru-baru ini, ke China dan Singapura, secara cepat. Padahal, di masa lalu, butuh waktu berhari-hari bagi warga Korea Utara untuk mendapatkan informasi seperti itu.
"Dari nada pemberitaan, AS saat ini dianggap sebagai negara yang normal," kata Peter Ward, ahli Korut sekaligus penulis di NK News.
"Semua referensi soal aksi AS terhadap Korut yang awalnya dianggap kasar dan bermusuhan sudah menghilang dari surat kabar," tambah dia.
Advertisement