Liputan6.com, Ankara - Beberapa pengamat menyebut agenda pemilihan umum (pemilu) Turki yang berlangsung akhir pekan ini sebagai momen penting negara tersebut.
Fokus utama pemilu tersebut hanya tertuju pada satu orang, yakni Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang telah memerintah Turki selama hampir 16 tahun, dan oleh banyak pihak, dianggap sebagai sosok yang sangat terpolarisasi.
Dikutip dari Abc.net.au pada Minggu (24/6/2018), Presiden Erdogan disebut tengah berada di titik puncak, namun dengan kemungkinan besar kehilangan legitimasi politiknya.
Risiko di atas membuat peran Turki sebagai aliansi utama NATO di kawasan Timur Tengah menjadi tidak pasti, sehingga dikhawatirkan memberi peluang bagi peningkatan konflik di dalam negeri dan wilayah perbatasan dengan Suriah.
Menurut laporan beberapa media lokal, Erdogan mendapat dukungan suara yang besar di lingkungan rumahnya di distrik Beyoglu, kota Istanbul. Di depan kerumunan besar yang menyorakkan namanya, sang presiden bercerita tentang bagaimana ia tumbuh tanpa kulkas, dan ditemani kesulitan yang dihadapi ibu kandungnya.
Baca Juga
Advertisement
Erdogan menekankan bahwa perjuangan pemerintahannya akan terus melawan militan Kurdi di Turki dan negara tetangga, Suriah. Selain itu, ia juga dengan tegas akan tetap mempertahankan sikap tidak tunduknya terhadap saran politik Amerika Serikat.
Dalam pemilu kali ini, masyarakat Turki tidak hanya menyumbangkan suaranya untuk menentukan pemimpin negara selanjutnya, melainkan juga memilih anggota parlemen secara terbuka.
Jajak pendapat ganda tengah dilakukan di bawah tekanan status keamanan darurat negara, yang berlaku pasca-upaya kudeta pada 2016 dan bebragai kisruh politik, di mana membuat sekitar 50.000 orang menghadapi persidangan dengan bukti lemah.
Meski begitu, banyak analis mengakui bahwa Presiden Erdogan adalah sosok politisi paling populer di Turki, yang telah bertahun-tahun membuktikan pertumbuhan mengesankan bagi negara yang dipimpinnya.
Namun, gaya otokratik Erdogan telah membuat banyak orang kecewa, ekonomi mengalami kelesuan dalam tiga tahun terakhir, dan memicu timbulnya kekhawatiran putaran ulang pemilu guna melanggengkan tampuk kekuasaan sang presiden.
Simak video pilihan berikut:
Sepak Terjang Oposisi
Sementara itu, kandidat untuk Partai Republik Sosial-demokratis dan sekuler, Muharrem Ince, yang memimpin blok oposisi menyebut meski pemberontakan Kurdi masih terus berlangsung, pihaknya akan tetap merangkul perwakilan politik kelompok minoritas tersebut.
Ince bahkan telah menghubungi dan mengajak bergabung Selahattin Demirtas, pemimpin partai Kurdi utama, yang berkampanye dari balik jeruji, di mana ia menghadapi tuduhan tidak berbukti cukup.
Koalisi oposisi disebut fokus untuk menggagalkan upaya Presiden Erdogan memenangi pemilu, sekaligus melemahkan cengkeremannya Partai Keadilan dan Pembangunan, partai pengusungnya yang berhaluan Islam.
"Jajak pendapat ini sangat penting karena mewakili tahap akhir dalam transformasi konstitusional yang dimulai pada referendum kontroversial tahun lalu, mengantarkan peran baru yang kuat untuk presiden," jelas Ince.
Dijelaskan olehnya bahwa posisi perdana menteri akan dihapus, sehinggan presiden akan memperoleh kekuasaan lebih besar atas peradilan, dapat menunjuk dan memecat menteri, serta memerintah dengan keputusan.
"Konstitusi menyerahkan segalanya, anggaran, yurisdiksi dan legislasi kepada satu orang. Ini terjadi untuk pertama kalinya," kata Ince.
Advertisement
Tiga Skenario Mencolok
Oleh pengamat, hasil pemilu Turki nantinya akan terlihat pada tiga skenario yang mencolok. Pertama adalah jika Presiden Recep Tayyip Erdogan menang unggul atas kedua jajak pendapat, maka ia akan duduk di tampuk kekuasaan dengan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara skenario kedua adalah jika Ince menang, maka akan menempatkannya pada posisi ganjil, membongkar sistem yang menawarkan begitu banyak otoritas.
Selain itu, terpilihnya Ince akan membuat urusan Turki dengan Sekutu akan sulit dikelola, karena memiliki pendekatan yang jauh berbeda dengan Erdogan.
Adapun skenario ketiga adalah apabila Erdogan memenangkan kursi kepresidenan, namun lawan-lawannya memimpin suara mayoritas di parlemen, kemungkinan besar Erdogan akan meminta dukungan kelompok Islamis dan nasionalis dalam kesepakatan tertentu.
Jika kemudian hal ini justru memicu kebuntuan politik, maka Turki bisa jatuh ke dalam ketidakpastian yang mendorong terjadinya putaran pemilu kedua.