Tes Psikologi Permohonan SIM Baru akan Transparan

“Kita minta malah pakai komputerise, biar transparan, saat input jawaban, selesai jawaban terakhir, maka muncul nilainya jadi tahu hasilnya, jawabannya dan juga lulus atau tidak berupa klarifikasi,” ungkap Fahri.

oleh Herdi Muhardi diperbarui 25 Jun 2018, 19:08 WIB
Keluhan atas SIM 'gaib' disampaikan oleh Satlantas Polres Rembang lewat akun Instagram mereka. (dok. Instagram @satlantasrembang/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), saat ini Kepolisian RI menerapkan pengujian tambahan berupa tes psikologi. Meski begitu, tes psikologi dijanjikan akan transparan.

Hal ini diungkapkan langsung Kepala Seksi SIM Ditlantas Polda Metro Jaya Fahri Siregar saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (25/5/2018).

“Kita minta malah pakai coomputerize, biar transparan, saat input jawaban, selesai jawaban terakhir, maka muncul nilainya jadi tahu hasilnya, jawabannya dan juga lulus atau tidak berupa klarifikasi,” ungkap Fahri.

Ia menuturkan, untuk pertanyaan yang diberikan bukan dari Kepolisian, melainkan materi dilayangkan dari lembaga psikologi, mulai dari observasi, tingkah laku, tertulis, hingga wawancara.

“Kita mintanya yang tidak menyulitkan masyarakat. Mungkin dengan plihan-pilihan jawaban yang efisien dan efektif, saya rasa dengan jawab pertanyaan itu saja,” tuturnya.

 

*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di Liputan6.com.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


SIM di Singapura

Tes psikologi menjadi cara baru ditempuh Kepolisian agar masyarakat mendapatkan SIM. Meski begitu, menurut Fahri cara ini bukan untuk mempersulit masyarakat mendapatkan SIM.

Fahri sendiri memberikan contoh kasus di Singapura, warga yang ingin membuat SIM justru terlebih dahulu pergi ke sekolah mengemudi. Padahal itu tidak ada kewajiban pemohon SIM melalui pelatihan pengemudi atau untuk mendapatkan sertifikat mengemudi.

“Masyarakat di sana lebih banyak pilih ke sekolah mengemudi yang lebih ribet, karena harus latihan teori berjam-jam, lalu praktik, baru bisa datang ke kantror polisi. Memang lebih ribet,” kata Fahri.

Artinya, pola pikir masyarakat Singapura tak hanya berpatok sekadar mendapatkan SIM, tetapi mementingkan aspek keselamatan.

“Mereka jadi lebih trampil, lebih pede, tapi tujuannya untuk aspek keselamatan. Makanya saya harapkan ini (adanya tes psikologi) untuk keselamatan. Bayangkan saja kalau ada orang punya ganggun psikis punya SIM terus tiba-tiba psikisnya terganggu saat berkendara, dan membahayakan diri sendiri dan orang lain, “ tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya