Kampanye Hitam Uni Eropa Bikin Ekspor Minyak Sawit RI Anjlok

Ekspor CPO Indonesia turun drastis, salah satunya akibat kampanye hitam dan boikot dari Uni Eropa.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Jun 2018, 16:45 WIB
Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Kampanye hitam dan larangan penggunaan biofuel berbasis minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada 2030 oleh Uni Eropa memberi dampak pada ekspor Indonesia terhadap komoditas tersebut.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengatakan, ekspor CPO dan produk turunannya anjlok sepanjang Januari-Mei 2018. Secara total, pada periode tersebut, ekspor CPO Indonesia turun hingga USD 1,25 miliar jika dibandingkan Januari-Mei 2017.

"Total ekspor cpo dan turunan Januari ke Mei 2017 sebesar USD 7,9 miliar. Tetapi 2018, ekspornya hanya USD 6,65 miliar," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin (25/6/2018).

Kecuk mencontohkan, penurunan ekspor CPO ke Spanyol dari sebelumnya sebesar USD 849 juta pada Januari-Mei 2017 menjadi hanya USD 313 juta pada periode yang sama tahun ini.

"Spanyol sebesar USD 849 juta menjadi USD 313 juta. Kemudian Belanda, Italia turun. Jadi mulai pengaruh," kata dia.

Selain ke Uni Eropa, penurunan ekspor CPO Indonesia pada periode tersebut juga terjadi ke India. Bahkan secara nilai penurunannya cukup besar.

"Kalau dilihat penurunan yang cukup curam selama Januari-Mei 2018 (yoy) ekspor CPO dan turunan ke India dari USD 2,1 miliar menjadi USD 1,2 miliar," tandas Kecuk.


Menko Luhut Lawan Hoaks dan Boikot Sawit RI oleh Eropa

Menko Luhut bertemu Presiden International Fund for Agricultural Development (IFAD), Gilbert F. Houngbo (Dok Foto: Humas Kemenko Bidang Kemaritiman)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, kelapa sawit telah menjadi sasaran hoaks yang cukup mengemuka di dunia, termasuk di Eropa. Jika tidak diluruskan, maka Indonesia akan terkena dampak negatifnya terutama dengan nasib 2,3 juta petani kecil di Indonesia dan 17,5 juta pekerja di sektor sawit.

“Ternyata terhadap data itu istilah halusnya banyak dilakukan distortion of fact, nah itu yang banyak dilakukan negara-negara di Eropa ini,” kata Luhut dalam keterangan resminya di Jakarta, pada 17 Mei 2018.

“Sekarang ini kita kembali menyajikan data bahwa aturan nomor satu dari WTO itu keadilan, jadi tidak boleh ada diskriminasi,” dia menegaskan. 

Dalam melawan hoaks minyak kelapa sawit Indonesia, Luhut mendapat dukungan dari dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang terkait masalah kemanusiaan, kemiskinan, kelaparan, agrikultur, dan peningkatan taraf hidup.

“Dukungan IFAD dan FAO banyak. Nanti seperti IFAD itu akan konferensi back to back di Bali. Sementara itu, mereka juga akan melakukan lobi, begitu juga FAO,” ujar Luhut. 

Lebih jauh dia menjelaskan, dukungan itu diberikan karena semua pihak sepakat dengan prinsip Sustainable Development Goals yang target nomor satunya adalah pengentasan kemiskinan.

“Masalah kelapa sawit ini masalah yang harus diselesaikan secara terintegrasi, karena itu menyangkut masalah kemiskinan itu adalah kaitannya dengan SDGs itu nomor satu kemiskinan,” paparnya.

 


Selanjutnya

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Sebagai hasil akhirnya, Menko Luhut berharap publik mendapatkan perbandingan tiga produk utama pertanian yang menghasilkan minyak tersebut.

“Jadi kalau memang harus disaingkan ya tidak apa-apa, palm oil disaingkan sunflower atau dengan soybean. Padahal biji bunga matahari dan kedelai itu kan kurang efektif bila dibanding palm oil,” Luhut menerangkan. 

Masalahnya, perbandingan yang adil tidak pernah muncul karena kampanye negatif yang memberikan stereotip bahwa minyak sawit berdampak pada kerusakan hutan, membahayakan kesehatan manusia, dan mengganggu habitat hewan yang dilindungi.

Justru fakta kontribusi industri sawit yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang, terabaikan. Jika kampanye yang tidak berkeadilan ini tidak di atasi, maka kendala terdekat bagi Indonesia akan terjadi pada 2021, di mana parlemen Uni Eropa melarang impor sawit untuk penggunaan biofuel dan bioliquids, termasuk biodiesel.

“Buat Indonesia ada hasil penelitian dari Stanford itu menunjukkan memang yang paling banyak mengurangi kesenjangan kita dari 0,41 ke 0,39 itu adalah minyak kelapa sawit salah satunya yang paling besar. Kalau itu terganggu ini akan merusak nanti beberapa juta orang terkait masalah kemiskinan,” tutup Luhut. 

*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di Liputan6.com.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya