Liputan6.com, Beijing - Pemerintah China dikabarkan tengah menggalakkan sebuah kampanye yang dinilai kontroversial, yakni membujuk rakyat untuk mengalihkan tradisi pemakaman jenazah, manjadi kremasi.
Konon, alasan di balik kampanye yang membuat alis berkernyit itu adalah untuk mendukung kelestarian lingkungan.
Dikutip dari BBC pada Selasa (26/6/2018), pemerintah China berupaya mengubah persepsi publik tentang pemakaman tradisional, dengan menyebut hal itu berisiko memperparah krisis sumber daya lahan akibat membludaknya populasi hingga lebih dari satu miliar jiwa.
Selain itu, pemerintah juga beralasan bahwa imbauan tersebut juga merupakan bagian dari upaya pelestarian lingkungan, yakni melalui penghematan konsumsi kayu potong untuk membuat peti mati.
Salah satu situs berita berpengaruh di Negeri Tirai Bambu, The paper, menggarisbawahi pada 23 Juni lalu, bahwa lebih dari 5.000 penduduk provinsi Jiangxi di wilayah tenggara China, berbondong-bondong menyerahkan peti mati jenazah keluarganya kepada otoritas setempat.
Beberapa laporan yang dikutip situs tersebut mengatakan, ada cukup banyak warga yang "dipaksa" untuk menggali makam keluarga yang telah meninggal, dan menyerahkan jenazahnya kepada pemerintah untuk dikremasikan.
Baca Juga
Advertisement
Bersamaan dengan unggahan berita tersebut, situs The Paper juga memuat sebuah foto yang menunjukkan tumpukan peti mati bekas, dibuang di pinggiran Kota Gao'an, Provinsi Jiangxi.
Secara tradisional, menurut kantor berita resmi Xinhua, masyarakat China percaya bahwa pemakaman adalah "cara yang tepat untuk menangani jenzah".
Banyak orang di Negeri Tirai Bambu berinvestasi besar-besaran dalam pemakaman dan peti mati. Mereka percaya bahwa melakukan hal yang rumit itu adalah cara menunjukkan bakti kepada leluhur.
Dilaporkan pula bahwa selama akhir pekan lalu, banyak kendaraan bermotor lalu lalang di sekitar Gao'an, mengumpulkan satu per satu peti mati dari rumah penduduk.
Surat kabar Global Times menulis laporan bahwa kompensasi yang diterima untuk penyerahan setiap satu peti jenazah adalah sekitar 2.000 yuan, atau setara Rp 4,3 juta.
Namun, nilai kompensasi tersebut jauh lebih kecil dari pengeluaran rata-rata masyarakat China, untuk menguburkan peti jeazah anggota keluarganya yang meninggal.
Simak video pilihan berikut:
Krisis Sumber Daya Lahan
Tidak hanya berbentuk imbauan dengan kompensasi, pemerintah China juga menerapkan kebijakan denda kepada mereka yang kedapatan telah menyimpan peti jenazah di rumahnya.
Adalah sebuah tradisi bagi masyarakat Negeri Tirai Bambu untuk menyiapkan secara dini segala perlengkapan pemakaman, termasuk peti mati. Kebanyakan dari mereka tidak ingin jika tempat peristirahatan terakhirnya tidak dihias secara apik.
Akibat kebijakan tersebut, dilaporkan bahwa lebih dari 1.000 peti mati berbahan baku kayu, dihancurkan di kota Shangrao --tidak jauh dari Gao'an-- menjelang akhir tahun lalu.
Bukan tanpa protes, kampanye kontroversial tersebut memicu kecaman oleh warganet setempat. Situs media sosial khas China, Weibo, dibanjiri oleh ribuan komentar bernada prihatin terhadap kebijakan terbaru Beijing itu.
Banyak di antara komentar itu menyebut penukaran paksa peti jenazah dengan kremasi adalah tindakan yang menyinggung sisi emosional.
Di sisi lain, kantor berita Xinhua mencatat pada 2016, bahwa ibu kota Beijing tengah menghadapai persoalan genting tentang ketersediaan lahan.
"Kebanyakan pemakaman penuh (di Beijing), sehingga lahan-lahan kosong di berbagai kota tentangga terus dilirik sebagai lokasi pemakaman. Sekitar 80 persen lahan pemakaman di kota-kota di provinsi Hebei dijual ke warga Beijing," tulis kantor berita Xinhua dalam sebuah laproan.
Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah China menawarkan opsi pengurusan jenazah dengan cara kremasi atau penguburan di laut.
Hal itu diharapkan mampu mendukung visi Negeri Tirai Bambu untu menghemat sumber daya lahan pada 2020 mendatang.
Advertisement