Tolak Warga dari 5 Negara Muslim, Sikap Donald Trump Didukung Mahkamah Agung

Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memutuskan dukungannya kepada Presiden Donald Trump mengenai gugatan atas larangan perjalanan bagi warga dari negara mayoritas Muslim.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jun 2018, 07:21 WIB
Protes di depan gedung Mahkamah Agung AS setelah MA merestui sebagian perintah eksekutif Donald Trump (Eric Thayer / AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Mahkamah Agung Amerika Serikat telah mengukuhkan larangan berkunjung ke AS bagi warga dari lima negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pernyataan ini diumumkan pada Selasa, 26 Juni 2018 dengan selisih suara tipis.

MA juga menyerahkan kewenangan kepada Presiden Donald Trump dalam menegakkan salah satu kebijakannya yang paling kontroversial itu.

Dalam keputusan 5-4 (5 hakim agung menudukung dan 4 hakim agung menolak), MA memutuskan bahwa presiden memiliki kewenangan sesuai undang-undang imigrasi untuk membatasi masuknya warga dari negara-negara asing dengan alasan keamanan nasional, seperti yang dikatakan oleh pemerintahan Trump.

"Presiden secara sah melaksanakan keleluasaan yang diberikan kepadanya di bawah Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan untuk menangguhkan masuknya orang asing ke Amerika Serikat," tulis Hakim Agung John Roberts, yang menyampaikan pendapat suara terbayak, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (27/6/2018).

Hakim memutuskan bahwa kebijakan presiden telah memenuhi persyaratan sesuai undang-undang: bahwa masuknya orang asing tertentu "akan merugikan kepentingan Amerika Serikat".

Roberts menambahkan, para penggugat dalam kasus ini -- yakni negara bagian Hawaii, Asosiasi Muslim Hawaii dan tiga penduduk negara bagian itu -- gagal menunjukkan bahwa larangan masuk ke Amerika Serikat "melanggar" klausul Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melarang tindakan lebih menyukai satu agama dari yang lain.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Empat Hakim Federal Sampaikan Pendapat Berbeda

Pemandangan bagian depan gedung Mahkamah Agung yang terlihat melalui pepohonan di Washington DC (26/9). Foto ini dihasilkan dengan menggunakan kamera atau teknik Inframerah. (AFP Photo/Andrew Caballero-Renolds)

Empat hakim liberal tidak setuju dengan keputusan pada Selasa 26 Juni 2018 kemarin.

Hakim Sonia Sotomayor menyamakan keputusan itu dengan keputusan Mahkamah Agung tahun 1944 yang menegaskan otorita pemerintah Amerika untuk menempatkan warga Amerika keturunan Jepang di kamp-kamp internir militer selama Perang Dunia Kedua.

"Sejarah tidak akan menyetujui putusan keliru hari ini," ujar Sotomayor.

Berdasarkan larangan perjalanan yang dikeluarkan September 2017 setelah beberapa pengadilan memblokir dua keputusan sebelumnya, maka warga dari lima negara mayoritas berpenduduk Muslim -- yaitu Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman, demikian pula sejumlah pejabat Korea Utara dan Venezuela -- dilarang memasuki wilayah Amerika.

Chad, yang juga merupakan salah satu negara berpenduduk mayoritas Muslim, sebelumnya juga masuk dalam daftar itu. Tetapi Chad kemudian dicabut pada April lalu ketika pemerintah Amerika mengatakan negara itu telah mematuhi syarat-syarat saling-bagi informasi yang diharuskan.

Keputusan itu mengakhiri perdebatan sengit selama hampir 17 bulan antara pemerintah dan para pengkritik.

Pihak pemerintah menilai alasan keamanan nasional dan otorita eksekutif menjadi sebab utama kebijakan kontroversial Donald Trump harus ditetapkan. Sementara para pengkritik menilai larangan itu sebagai keputusan yang secara ideologis diilhami dari "larangan bagi warga Muslim."

Dalam sebuah pernyataan, Trump menyebut keputusan itu sebagai "kemenangan luar biasa bagi rakyat dan konstitusi Amerika."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya