HEADLINE: Partai Besar Terseok di Pilkada 2018, Peringatan untuk Pilpres 2019?

Dari 17 Pilkada tingkat provinsi atau pemilihan gubernur, PDIP hanya menang di 6 daerah. Sisanya di 10 daerah, partai berlambang banteng itu harus menelan kekalahan.

oleh SunariyahDevira PrastiwiPutu Merta Surya PutraIka DefiantiLizsa Egeham diperbarui 29 Jun 2018, 00:07 WIB
Anggota KPPS melakukan proses penghitungan suara Pilkada Jawa Barat 2018 di TPS 06 Nagrak, Gunung Putri, Bogor, Rabu (27/6). TPS tersebut menjadi tempat keluarga besar SBY menunaikan haknya pada Pilgub Jabar 2018. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Hitung cepat (quick count) hasil pilkada serentak 2018 telah usai. Sejumlah pasangan calon kepala daerah dinyatakan menang sementara dalam pesta demokrasi yang berlangsung serentak di 117 daerah, Rabu 27 Juni lalu.

Di Jawa Barat, pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Ridwan Kamil-Uu Ruhzanul Ulum yang diusung Partai Nasdem, Hanura, PKB, dan PPP unggul dari 3 penantangnya. Di Jawa Tengah, paslon Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang diusung PDIP, Nasdem, PPP, dan Demokrat berhasil mengalahkan paslon Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diusung Gerindra, PAN, PKS, dan PKB.

Sementara di Jawa Timur, paslon Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang diusung PDIP, PKB, Gerindra, dan PKS harus mengakui kemenangan rival mereka, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak yang diusung Partai Demokrat dan Golkar. Di Sumatera Utara, Djarot Saiful Hidayat yang ditugaskan PDIP dan PPP untuk merebut suara rakyat di daerah itu, terpaksa harus mengakui kemenangan lawannya, Edy Rahmayadi yang diusung Partai Golkar, Gerindra, PKS, PAN, Nasdem, dan Hanura.

Meski kalah di Sumut, tapi PDIP masih bisa berbangga hati karena paslon yang mereka usung di Sulawesi Selatan yakni Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman berhasil mengalahkan 3 lawan mereka.

Kemenangan dan kekalahan para paslon dalam Pilkada serentak 2018 banyak di luar prediksi. Ridwan Kamil contohnya.

Kemenangan Ridwan Kamil di Pilkada Jabar membuat banyak pihak terhenyak. Tak terkecuali ketua umum partai pengusungnya, Surya Paloh. Pasalnya, sebelum hari pencoblosan, Ridwan Kamil harus pontang panting meyakinkan sejumlah partai agar tetap mengusungnya di Pilkada. Belum lagi serangan kampanye hitam yang menyebutkan dia anti-212 dan tak peduli Islam.

Tapi, penentu kemenangan para calon gubernur itu adalah suara pemilih di TPS, bukan partai pengusung. Setidaknya ini tergambar dari kemenangan Khofifah di Jatim dan kekalahan Djarot di Sumut. 

Menyambut kemenangan versi hitung cepat ini, Ridwan Kamil tak mau ada euforia. Dia hanya menyampaikan salam kepada para rivalnya.

"Salam hormat untuk para kandidat di Pilgub Jawa Barat, Pak Deddy Mizwar, Kang Dedi Mulyadi, Kang Anton Charlian dan Kang TB Hasanudin," tulis Ridwan Kamil di akun Facebook-nya, Kamis (28/6/2018). Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih kepada para rivalnya karena telah mampu menghadirkan Pilkada Jabar 2018 tanpa huru-hara.

"Terima kasih telah menghadirkan Pilkada yang aman, damai, dan berkualitas di Jawa Barat. Memberikan masyarakat Jawa Barat sebuh contoh bagaimana pun panas pertandingan, ketika selesai kembali menjadi saudara. Semoga tidak pernah lelah berjuang untuk Jawa Barat. #PilgubJabar2018 #RINDUJabarJuara1 #MemilihRINDU," tulis Ridwan Kamil lagi.

 

Infografis para pemenang Pilkada Serentak 2018 (Liputan6.com/Triyasni)

Melihat hasil Pilkada serentak 2018, Direktur Lembaga Survey dan Polling Indonesia (SPIN) Igor Nainggola menyebut, penentu menang kalahnya cagub dan cawagub adalah logistik, kinerja mesin partai politik, agresivitas relawan, isu-isu yang dimainkan, dan figur atau ketokohan calon maupun yang mencalonkan pasangan kepala daerah itu.

"Contohnya dari hasil sementara quick count berbagai lembaga survei hari ini telak mengunggulkan paslon yang didukung oleh Prabowo Subianto, yaitu pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah di Sumatra Utara, Isran Noor-Hadi Mulyadi di Kalimantan Timur, dan Murad Ismail-Barnabas Orno di Maluku Utara," ujar Igor kepada Liputan6.com, Kamis (28/6/2018).

Dia menyebut, figur Prabowo Subianto masih merupakan magnet elektoral bagi keunggulan masing-masing pasangan calon di Pilkada 2018. Fenomena ini sekaligus sebagai prakondisi menguatnya Prabowo untuk kembali menjadi capres potensial 2019 menghadapi incumbent Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Faktor figur ini jugalah, kata Igor, yang menjadi penentu kemenangan Ridwan Kamil di Pilkada Jabar. Sekalipun mesin partai lawan bergerak, seperti yang ditunjukkan PKS dan Gerindra yang mampu mengantarkan pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu sebagai runner up, namun ketokohan dan figur Ridwan Kamil mampu menghentikan langkah mereka. 

Faktor popularitas, kinerja, dan figur sebagai penentu kemenangan di Pilkada serentak 2018 juga diungkapkan Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universiras Padjadjaran, Bandung, Muradi. Dia mengatakan, ide-ide kreatif Ridwan Kamil mampu menjadi magnet bagi pemilih di Jawa Barat.

"Saya kira yang lebih serius, lebih bisa mendekatkan pemilih. Misalnya merasa dipimpin oleh Emil karena dia kreatif punya visi dan sebagainya. Dianggap ingin juga merasakan dibangun seperti di Bandung," kata Muradi, Rabu, 27 Juni 2018.

Faktor lainnya adalah usia. Usia Ridwan Kamil dan Uu yang lebih muda dibanding tiga pesaingnya, yang kemudian dikemas dengan gagasan dan ide kreatif, sukses menarik suara generasi milenial di Jabar. Ridwan Kamil juga berhasil mengumpulkan banyak dukungan berkat media sosial yang dijadikan sebagai ajang berkampanye. Lewat dunia maya, Ridwan Kamildinilai mampu menggapai para pemilih muda dengah visi-visinya yang bisa lebih diterima para kaum milenal.

Faktor penentu yang tak kalah penting yakni mengikuti pilihan rakyat dan anti politik uang. Strategi ini diterapkan oleh Partai Nasdem dalam menentukan calon yang akan diusung di Pilkada. Dan terbukti, meski bukan partai lama, sebagian besar calon yang diusung Nasdem berhasil memenangkan Pilkada. Bahkan partai besutan Surya Paloh ini, mampu menjadikan 3 kadernya sebagai gubernur dan 1 kadernya sebagai wakil gubernur (wagub).

"Banyak faktor, tapi menurut kami yang paling disukai rakyat adalah apa, secara konsisten kami juga menerapkan politik tanpa mahar untuk Pilkada, jadi rakyat tahu nih. Memang politik Indonesia itu harus bersih dari money politics, sehingga masyarakat memberikan endorsment persetujuan bahwa politik tanpa mahar itu betul, dan Nasdem konsisten dalam hal ini," ujar Sekjen Nasdem Johnny Plate kepada Liputan6.com, Kamis (28/6/2018).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Nasib PDIP

PDIP menggelar jumpa pers mengenai hasil Pilkada 2018 (Liputan6.com/ Putu Merta Surya Putra)

Berlawanan dengan Nasdem yang bersuka cita meraih banyak kemenangan, PDIP harus menerima kenyataan pahit. Dari 17 Pilkada tingkat provinsi atau pemilihan gubernur, partai penguasa ini hanya menang di 6 daerah yakni Bali, Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Selatan.

Sisanya di 10 daerah, Partai besutan Megawati Soekarnoputri harus menelan kekalahan. Sepuluh daerah itu yakni Sumatera Utara, NTT, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Lampung, NTB, Sumatera Selatan, dan Riau.

Terkait kekalahan ini, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menuturkan, Pilgub kali ini adalah kemenangan dan kisah sukses dari komitmen kaderisasi Partai.

"Dalam konteks itu, kami berhasil melawan pragmatisme mengambil sembarang tokoh yang tidak jelas asal usul ideologi dan komitmennya, dan PDI Perjuangan kukuh mengajukan kader untuk maju Pilkada," ucap Hasto di kantor DPP PDIP, Jakarta, Kamis (28/6/2018).

Kalau untuk sekedar mengejar kemenangan, Hasto menegaskan, PDIP tentu akan mengusung figur yang elektabilitasnya paling tinggi, tanpa harus melihat apakah itu kader atau bukan, dan tutup mata dengan komitmen ideologinya.

"Tetapi, sebagai partai ideologis, PDI Perjuangan sangat memperhatikan bagaimana aspek kepemimpinan ke depannya setelah terpilih menjadi kepala daerah," jelas Hasto.

Dari data yang dipaparkan, ada 4 kader PDIP yang berhasil meraih kursi gubernur dan 3 kader yang meraih kursi wakil gubernur. Mereka adalah Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), I Wayan Koster (Bali), Jhon Wempi Wetipo (Papua), dan Murad Ismail (Maluku). Untuk kursi wagub diraih oleh Barnabas Orno (Maluku), Al Yasin Ali (Maluku Utara), dan Cok Ace (Bali).

Sementara Gerindra, meski mampu mengantarkan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah sebagai pemenang Pilkada Sumut, namun tak ada satu pun kadernya yang berhasil meraih kursi gubernur dan wakil gubernur. Nasib serupa juga dialami Hanura.

Nasib Golkar, PKS, PKB, dan PPP lebih baik. Golkar berhasil meraih 1 kursi Gubernur dan 3 kursi wagub. PKS meraih 3 kursi gubernur dan 1 kursi wagub. PPP meraih 1 kursi Gubernur dan 2 kursi wagub. PKB masing-masing meraih 1 kursi gubernur dan wagub. Sementara PAN dan PKPI dapat 1 kursi gubernur, dan Demokrat bersama Perindo sama-sama mendapat 1 kursi Wagub.

Soal banyaknya calon PDIP dan Gerindra yang keok, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebut, ada sejumlah faktor penyebab. Salah satunya karena partai terlalu memaksakan memasang kader mereka.

Dia mencontohkan pasangan Hasanah (TB Hasanudin-Anton Charliyan). Figur keduanya dianggap kurang dikenal dan tidak menjual, namun tetap dipaksakan sehingga perolehan suara mereka paling rendah di Pilgub Jabar.

"Faktor lainnya karena program mereka kurang menguntungkan masyarakat atau karena politik uang, politik identitas, politik agama ataupun suku, asal. Jadi banyak faktor sebenarnya," ujar Pangi kepada Liputan6.com, Kamis (28/6/2018).

 


Hasil Pilkada Mempengaruhi Pilpres 2019?

Ketua Umum Partai Demokrat SBY (kiri) berkomunikasi dengan Cagub Sumut Edy Rahmayadi saat memantau hasil quick count Pilkada Serentak 2018 dari Ruang Monitoring di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (27/6). (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, hasil Pilkada serentak 2018 bisa saja dianggap sebagai etalase politik nasional dan mempengaruhi peta politik.

"Semua orang punya kepentingan memenangkan Pilkada gubernur supaya menjadi pintu masuk, memuluskan ke gelanggang Pilpres. Cuma kalau kepala daerahnya tidak petugas partai, tidak di partai, belum tentu juga menguntungkan Presiden yang diusung partai tersebut. Misalnya AHY maju, siapa partai pengusung Ibu Khofifah di Jatim, itu yang akan membantu," papar Pangi.

Tapi pendapat berbeda disampaikan pendiri SMRC, Saiful Mujani. Dia mengatakan, terlalu sederhana bila mengaitkan hasil Pilkada Serentak 2018 dengan Pilpres 2019.

"Terlalu menyederhanakan masalah, mengaitkan Pilpres dengan Pilkada tahun ini. Pilpres adalah satu hal, Pilkada adalah hal lain," kata Saiful Mujani dalam perbincangan dengan Liputan6.com, Rabu (27/6/2018).

Dia mencontohkan, bila berkaca pada Pemilu 2014, seharusnya kemenangan Pilkada di Jabar diraih pasangan Sudrajat-Syaiku, namun kenyataannya tidak demikian. Hasil yang didapat dalam hitung cepat Pilkada kali ini, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum unggul.

Faktor tokoh-tokoh yang akan berkontestasi di Pilpres dan terekspos ke publik, kata Saiful, akan menjadi penentu pilihan masyarakat di Pilpres nanti."Saya tidak melihat faktor yang sangat penting, efek dari Pilkada terhadap Pilpres," beber Saiful.

Meski Saiful menyebut pilkada merupakan satu hal berbeda dengan pilpres, tapi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengatakan, hasil pilkada akan berpengaruh pada Pilpres 2019. Semua keputusan itu akan kembali pada siapa calon presiden (capres) yang akan diusung.

"Tentu akan pengaruh. Tergantung kombinasi capresnya kayak apa dan partai pendukungnya seperti apa. Akan sangat pengaruh saya kira," kata Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/6/2018).

Zulkifli menjelaskan, banyak faktor yang akan mempengaruhi koalisi Pilpres 2019. Salah satu di antaranya faktor figur yang diusung.

"(Hasil pilkada) salah satu faktor. Kan banyak faktor. Pilkada kemarin menunjukkan bahwa figur itu penting," ungkapnya.

Menurutnya, pengusungan sosok figur yang disukai rakyat sangatlah penting karena akan berpengaruh besar pada kemenangan.

"Jadi figur itu menentukan. Jadi pelajaran yang kita ambil calon yang dimau rakyat dan calon yang diputuskan rakyat harus sejalan. Enggak bisa juga mencalonkan 'wah saya partai besar semau-mau saya. Ditolak sama rakyat sekarang. Itu pelajaran penting," ucapnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya