Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengajak Indonesia melawan kampanye hitam terhadap industri [kelapa sawit]( 3570888 "") yang kerap dilayangkan pihak asing khususnya dari negara-negara Eropa.
Dia menegaskan jika kampanye ini bisa merusak industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia. "Kita perlu bersama melawan kampanye mereka yang mengatakan minyak kelapa sawit dibuat dari hutan-hutan yang ditebang pengusaha dan dengan itu dia malah berdampak buruk pada iklim. Itu tidak benar sama sekali," kata dia di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/6/2018).
Advertisement
Dia menjelaskan Malaysia pernah difitnah dengan isu melakukan penebangan hutan demi menambah produk kelapa sawit. Dia pun menegaskan tidak akan tinggal diam terkait isu tersebut.
"Itu tidak benar sama sekali. Kita perlu ada kawasan luas untuk masyarakat dan untuk mendapat hasil yang lebih banyak dan tinggi dari kawasan luas di negara kita," papar dia.
Mahathir menjelaskan seharusnya Indonesia dan Malaysia membutuhkan lahan yang lebih luas. Agar para petani kelapa sawit dapat menghasilkan produk yang lebih banyak.
"Tantangan yang mereka hadapi mungkin lebih pada sektor ekonomi dan keuangan daripada masalah lingkungan," ungkap Mahathir.
Hal tersebut juga diamini Presiden Joko Widodo yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. Dia menjelaskan selama ini Indonesia-Malaysia berjuang bersama terkait masalah sawit.
"Presiden juga menyampaikan mengenai crude palm oil [CPO], kan Indonesia dan Malaysia kalau dilihat dari produksinya lebih dari 80 persen. Sejauh ini kita bersama dengan Malaysia untuk berjuang bersama masalah sawit," papar Retno.
Reporter: Intan Umbari Prihatin
Sumber: Merdeka.com
Pemerintah Terus Pastikan Kebijakan Minyak Sawit Eropa Tak Diskriminasi
Pemerintah Indonesia terus memastikan kebijakan impor minyak kelapa sawit yang dijalankan oleh Eropa tidak diskriminatif. Kebijakan pengurangan impor minyak nabati untuk kelapa sawit senada atau sejalan dengan produk nabati lain seperti jagung dan bunga matahari.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, Uni Eropa telah merevisi kebijakan pembatasan minyak sawit. Saat ini pembatasan tersebut akan dilakukan pada 2030 sama seperti produk lain. Kebijakan tersebut tertuang dalam Renewable Energy Directive (RED) II.
Semula, Indonesia menyatakan adanya kebijakan yang diskriminatif terhadap produk minyak sawit. Alasannya, dalam aturan di Eropa pengurangan tersebut dilakukan pada 2021 sedangkan produk lainnya dilakukan pada 2030.
"Tetang sikap kita terhadap REDII di Uni Eropa. Kita masih mempelajari, kita sudah paham bahwa face out palm oil dari dari 2021 sudah bergeser ke 2030," kata Oke, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Baca Juga
Menurut Oke, pemerintah Indonesia akan jeli menyikapi kebijakan tersebut. Jangan sampai pelaksanaan kebijakan tersebut akan melenceng dari tujuan semula. Dia ingin memastikan agar tidak ada diskriminasi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
"Jadi yang pertama itu yang diarahkan Pak Menteri jangan sampai itu hanya palm oil, tapi sifatnya harus tidak diskriminatif, artinya semua vegetable oil," tuturnya.
Jika dalam pelaksanaan kebijakan pengurangan impor minyak sawit terdapat diskriminasi yaitu hanya minyak sawit saja yang dibatasi dan minyak nabati tida mendapat perlakuan yang sama, maka Pemerintah Indonesia siap mengajukan gugatan.
"Tahap pertama yang kita pastikan manakala terjadi diskriminasi, kita lakukan dulu secara normatif kita gugat, apakah itu nanti mau retaliasi atau apa itu cerita lain," tandasnya.
Advertisement