Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan menaikkan suku bunga acuan atau 7 day reverse repo rate 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen.
Kenaikan suku bunga acuan itu dinilai sebagai upaya BI menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan menunjukkan keberanian BI untuk tegas mengambil kebijakannya.
Direktur PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menuturkan, suku bunga acuan BI naik 50 bps itu mengejutkan. Ini menunjukkan BI ingin mendorong persepsi positif untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Apalagi rupiah cenderung bergerak volatile dalam beberapa hari ini.
Baca Juga
Advertisement
Melihat kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah sempat bergerak di kisaran 14.105 pada Senin 25 Juni 2018, kemudian bergerak ke posisi 14.271 per dolar AS pada 28 Juni 2018. Hingga sentuh posisi Rp 14.404 per dolar AS pada 29 Juni 2019.
"Beberapa hari terakhir rupiah melemah drastis. Secara year to date (ytd) melemah 5,27 persen terhadap dolar AS. Ini diperlukan sekarang stabilitasi di tengah kebijakan bank sentral lainnya. Ini surprise naik 50 basis poin,” kata Budi saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (29/6/2018).
Budi menuturkan, kenaikan suku bunga acuan tersebut diharapkan dapat stabilkan nilai tukar rupiah. Hal itu mengingat volatilitas akan terus berlanjut hingga September.
Ini mempertimbangkan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve yang akan kembali menaikkan suku bunga acuan, harga minyak kembali naik, dan dolar AS makin perkasa. Budi menilai, faktor tersebut tidak baik untuk pasar negara berkembang. Selain itu, Budi menilai langkah BI menaikkan suku bunga acuan juga menstabilkan pasar surat utang atau obligasi.
Hal senada dikatakan VP Sales and Marketing PT Ashmore Assets Management Indonesia, Angganata Sebastian. Kenaikan suku bunga acuan 50 bps sebagai reaksi dari pelemahan rupiah yang cukup dalam. BI menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen itu dinilai untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan bukan karena inflasi.
Selanjutnya
Kenaikan suku bunga acuan BI akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Angganata memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada 2018 di kisaran 5,1 persen-5,2 persen.
"Untuk pertumbuhan saya pikir seharusnya akan ada revise down. Kita juga perlu ingat bahwa ada sesuatu yang terjadi di luar harapan yaitu perang dagang. Saya rasa dengan efektifnya perang dagang seharusnya asumsi bisa berubah,” kata Angganata.
Angganata menambahkan, perlu ada stimulus dari pemerintah untuk imbangi kebiajakan kenaikan suku bunga acuan. Stimulus yang dibutuhkan kurang lebih yang dilakukan pemerintah pada 2015.
"Relaksasi di beberapa sektor. Saat ini yang sudah keluar antara lain sektor properti dan pajak untuk UMKM turun 0,5 persen. Lalu pemerintah lebih menggalakkan cash transfer untuk boost spending. Kami bisa lihat realisasi dari bantuan sosial sudah mencapai 23 persen pada kuartal I dan hasilnya beberapa data penjualan seperti motor, mobil dan ritel menunjukkan ada perbaikan,” kata dia.
Budi menuturkan, diperlukan kebijakan untuk mendorong dan perluas pasar ekspor. Ini juga mengingat ada potensi perang dagang. Indonesia pun juga harus mempersiapkan dampak dari perang dagang tersebut.
"Ada perang dagang bisa berkurang ekspor. Gara-gara tarif impor membuat ekspor China akan berbelok ke Indonesia. Ini kita harus siap,” ujar Budi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement