Liputan6.com, New York - Anak-anak yang terpapar asap rokok dalam rahim dan pada masa-masa awal usianya memiliki dua kali peluang lebih besar kehilangan indra pendengaran dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terpapar sama sekali pada asap tembakau, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sebuah studi di Jepang.
Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan perokok dewasa berisiko lebih besar untuk kehilangan indra pendengarannya ketimbang mereka yang tidak merokok, hanya sedikit yang diketahui seberapa besar risiko paparan asap rokok pada bayi atau janin terhadap indra pendengaran, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (1/7/2018).
Untuk studi saat ini, para peneliti menguji data dari 50.734 anak yang lahir antara tahun 2004 dan 2010 di Kobe, Jepang. Secara keseluruhan, sekitar 4 persen dari anak-anak ini terpapar pada asap rokok saat ibu mereka dalam masa kehamilan atau saat mereka bayi, dan kurang lebih 1 persen dari populasi terpapar asap rokok pada kedua periode tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Uji pendengaran yang dilakukan saat anak-anak itu berusia 3 tahun menemukan bahwa 4,6 persen dari anak-anak itu kehilangan indra pendengaran.
Peluang mereka untuk kehilangan indra pendengaran sebesar 68 persen lebih besar apabila mereka terpapar asap tembakau saat ibu mereka dalam masa kehamilan, dan 30 persen lebih besar apabila mereka menjadi perokok pasif saat mereka masih bayi, demikian hasil temuan studi tersebut.
Apabila anak-anak terpapar asap rokok pada kedua periode, mereka berpeluang 2,4 kali besar untuk kehilangan indra pendengaran dibandingkan anak-anak yang tidak terpapar asap rokok.
"Pasien dengan risiko terbesar untuk kehilangan indra pendengaran adalah mereka yang terpapar langsung asap rokok saat ibu mereka dalam masa kehamilan," ujar Dr. Matteo Pezzoli, seorang spesialis indra pendengaran di Rumah Sakit San Lazzaro di Alba, Italia.
"Menariknya, paparan pada asap rokok di usia dini tampaknya memperkuat efek merusak yang diderita sebelum dilahirkan," ujar Pezzoli, yang tidak menjadi bagian dalam studi ini, lewat email.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Permasalahan lainnya
Saat para wanita hamil merokok, tindakan tersebut dapat menghambat pertumbuhan otak janin dan berakibat pada disfungsi kognitif indra pendengaran, ujar Pezzoli. Merokok juga dapat merusak reseptor sensor di telinga yang meneruskan pesan ke otak berdasarkan getaran suara.
Secara global, sekitar 68 juta orang menderita kehilangan fungsi pendegaran dan diperkirakan berawal sejak masa kanak-kanak mereka, ujar Koji Kawakami dari Kyoto University dan para koleganya dalam jurnal Paediatric and Perinatal Epidemiology. Kawakami tidak menjawab permintaan untuk memberikan komentarnya.
Para peneliti mengkaji kemampuan indra pendengaran anak-anak ini dengan mengimplementasikan apa yang disebut dengan uji bisik. Untuk keperluan tes ini, ibu-ibu mereka berdiri di depan anak-anak ini untuk mencegah anak-anak ini membaca gerakan bibir ibunya. Kemudian ibunya membisikkan satu kata sementara salah satu telinga anak-anak ini ditutup.
Meskipun tes ini tergolong sederhana dan dianggap cara akurat untuk mengkaji kemampuan indra pendengaran pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih besar, ada kekhawatiran mengenai seberapa besar keandalan dari hasilnya pada anak-anak yang berusia muda.
Tes ini dianggap lebih handal apabila dilakukan oleh praktisi klinik terlatih dan spesialis dan dianggap kurang handal apabila dilakukan oleh para pengasuh, ujar para peneliti.
Masih belum jelas seberapa akurat hasil studi ini berdasarkan berbagai uji yang dilakukan oleh orang tua anak-anak itu, demikian pengakuan dari para peneliti.
Studi ini juga bukan sebuah eksperimen terkendali yang dirancang untuk membuktikan apakah dan bagaimana paparan asap tembakau pada masa kehamilan atau bayi secara langsung menyebabkan kerusakan pada indra pendengaran anak-anak.
"Belum ada evaluasi medis yang standar terkait indra pendengaran atau pengujian terhadap telinga oleh spesialis telinga," ujar Dr. Michael Weitzman, seorang dokter spesialis anak dan peneliti indra pendengaran di New York University yang tidak ikut serta dalam studi ini.
Advertisement