Demi Dialog Damai PBB, UEA Tunda Operasi Militer di Hodeidah Yaman

UEA menunda operasi militer melawan pemberontak Houthi di Hodeidah, Yaman, demi membuka jalan bagi perundingan damai yang digagas PBB.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 02 Jul 2018, 15:08 WIB
Milisi pro-pemerintah Yaman yang didukung Koalisi Arab Saudi dalam sebuah operasi untuk memasuki Kota Hodeidah (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Abu Dhabi - Uni Emirat Arab menunda operasi militer melawan pemberontak Houthi di Hodeidah, Yaman, demi membuka jalan bagi upaya diplomasi PBB yang hendak membuka dialog damai seputar konflik bersenjata di kota tersebut.

Dalam serangkaian twit, Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash mengatakan pada Minggu 1 Juli 2018 bahwa jeda itu ditujukan untuk mengejar perundingan demi penarikan mundur tanpa syarat pemberontak Houthi dari Hodeidah.

Tetapi, Gargash memperingatkan, jika perundingan itu gagal, tindakan militer penuh tetap bisa dilakukan oleh UEA.

"Kami menyambut upaya berkelanjutan Utusan Khusus PBB Martin Griffiths, untuk membuka perundingan penarikan Houthi tanpa syarat dari kota dan pelabuhan Hodeiah," twit Gargash seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (2/7/2018).

"Kami telah menghentikan kampanye kami untuk memungkinkan cukup waktu agar opsi ini sepenuhnya dieksplorasi. Kami berharap dia akan berhasil."

Gargash mengatakan, penundaan operasi telah berlaku sejak 23 Juni 2018.

Sejak itu, pasukan koalisi UEA-Arab-Yaman ditarik hingga ke perimeter Hodeidah demi menunggu hasil kunjungan Utusan PBB Martin Griffiths ke Sana'a, ibu kota Yaman yang tengah dikuasai oleh Houthi.

Berbicara kepada Radio PBB pada hari Jumat, Griffiths mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB akan bertemu pekan ini untuk membahas kemajuan pembicaraan.

 

Simak pula video pilihan berikut:


PBB: Negosiasi Bisa Terlaksana

Sejumlah truk membawa bantuan selimut dan alas tidur dari Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di kota pesisir Hodeidah, Yaman (11/4). (AFP Photo/Abdo Hyder)

Utusan Khusus PBB Martin Griffiths mengatakan bahwa negosiasi antara pihak yang bertikai bisa terjadi dalam waktu dua pekan, yang pertama dalam dua tahun.

"Kedua belah pihak menunjukkan kesediaan untuk bernegosiasi, mengatakan pembicaraan semacam itu sudah lama tertunda," katanya.

"Masalah Hodeidah adalah masalah yang sangat penting tetapi tidak lebih penting daripada masalah solusi politik secara keseluruhan," tambah Gargash.

Sementara itu, Houthi --yang menguasai Hodeidah pada akhir 2014-- mengatakan bahwa mereka mungkin mau berbagi kendali atas kawasan kota pelabuhan itu dengan PBB.

Tapi, kata Houthi, pasukan PBB harus tetap berada di wilayah terluar dermaga dan pinggiran kota yang menghadap ke Laut Merah itu.

Namun, pemerintah Yaman mengatakan solusi politik untuk perang sipil di negara itu dimulai dengan penarikan mundur "lengkap dan tanpa syarat" pemberontak Houthi di Hodeidah.

Kantor berita Yaman yang dikuasai pemerintah, SABA, melaporkan pada Sabtu, pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi mengatakan bahwa upaya gencatan senjata akan gagal jika Houthi menolak untuk mundur dari provinsi yang mereka pegang, termasuk Hodeidah.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Yaman Khaled Al Yamani mengatakan bahwa tidak akan ada pengaturan politik sebelum masalah keamanan diselesaikan.

"Kami tidak dapat menerima inisiatif Griffith kecuali ada poin kesepakatan tentang penarikan Houthi dari kota Hodeidah dan pelabuhannya," katanya.

Sebuah koalisi Saudi-UEA-Yaman melancarkan serangan ke Hodeidah pada 13 Juni 2018 untuk merebut kembali kota dari tangan kelompok Houthi.

Lebih dari 5.000 keluarga yang tinggal di pinggiran kota Hodeidah telah terlantar akibat pertempuran antara Houthi dan koalisi UEA.

Lebih lanjut, dua pertiga populasi Yaman yang berjumlah 27 juta bergantung pada bantuan yang datang melalui pelabuhan Hodeidah dan 8,4 juta sudah beresiko kelaparan.

PBB menggambarkan situasi di negara itu sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Serangan tersebut merupakan yang terbesar sejak Maret 2015, ketika koalisi pimpinan Arab Saudi melancarkan serangan militer yang ditujukan untuk mengembalikan kekuasaan Hadi yang direbut oleh kelompok Houthi.

Sejak itu, lebih dari 10.000 orang telah tewas dan setidaknya 40.000 orang terluka, sebagian besar dari serangan udara pimpinan Saudi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya