Liputan6.com, Jakarta - Morgan Stanley memperkirakan pasar saham Indonesia masih lebih baik pada 2019 meski masuk tahun politik. Hal itu seperti disebutkan laporan Morgan Stanley Indonesia:What To Worry About And When To Buy yang rilis pada 28 Juni 2018.
Dalam laporan itu disebutkan, posisi Indonesia lebih baik pada 2019 didukung pemilihan umum berjalan baik dan diharapkan meningkatkan konsumsi. Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapatkan manfaat dari pembangunan infrastruktur yang sudah dilaukan.
Akan tetapi, ada sejumlah faktor risiko yang perlu dicermati di Indonesia. Pertama, pergerakan mata uang. Analis Saham Morgan Stanley Aarti Shah menuturkan, berdasarkan diskusi dengan manajemen perusahaan dan pembuat kebijakan, pergerakan mata uang menjadi penentu utama keyakinan di lapangan dan kesediaan untuk berinvestasi.
Baca Juga
Advertisement
Keuntungan atau margin perusahaan dapat berdampak negatif seiring biaya impor lebih tinggi. Namun, Morgan Stanley melihat dolar AS akan melemah pada kuartal I 2019. Hal tersebut dapat berdampak positif untuk pasar saham.
"Kali ini, semakin kuat dolar AS telah menyebabkan kenaikan suku bunga lebih awal oleh Bank Indonesia. Ini menambahkan risiko penurunan lebih lanjut terhadap pendapatan perusahaan,” kata Aarti Shah.
Morgan Stanley juga melihat potensi arus dana asing yang keluar dan kenaikan suku bunga. Kedua, harga minyak. Harga minyak menguat dapat membuat inflasi berbalik arah menjadi tinggi. Pemerintah mengumumkan rencana menahan harga bahan bakar bersubsidi. Ini dapat positif untuk inflasi dan membantu pendapatan masyarakat.
Ketiga, pemilihan Ppresiden. Morgan Stanley memandang, pemilihan presiden dapat membawa sejumlah manfaat antara lain kenaikan belanja modal atau stimulus. Namun dapat juga membawa ketidakpastian yang dapat halangi investor asing masuk pada semester II 2018.
"Kami melihat aksi beli yang tepat pada price earning ratio 12 kali dengan konsensus pendapatan 13,8 kali dan 15,1 kali berdasarkan pendapatan kami. Pertahankan aksi beli pada posisi premium 10 persen sedangkan sekarang 17 persen,” kata dia.
Morgan Stanley juga menyoroti koreksi yang pernah dialami di pasar saham Indonesia pada semester II 2013, semester II 2015 dan kuartal II 2018. Pada 2018, dolar AS menguat juga mendorong koreksi sekitar 20 persen dari posisi tertinggi. Aliran dana investor asing keluar dari pasar saham capai USD 2,4 miliar.
Saham China Tambah di MSCI Picu Investor Asing Keluar dari RI
Sebelumnya, MSCI menambah saham perusahaan asal China dalam indeks MSCI global dan regional akan menarik dana investor asing dari pasar saham Indonesia. MSCI (Morgan Stanley Capital International) ini merupakan salah satu acuan bagi manajer investasi global untuk menyusun portofolio investasi sahamnya.
MSCI memasukkan saham kelas A emiten China pada 15 Mei 2018 dapat mengurangi bobot saham negara lain termasuk Indonesia. Sentimen tersebut juga dapat membuat investor asing keluar dari pasar saham Indonesia.
MSCI menambah satu saham dalam indeks MSCI Indonesia yang masuk MSCI Global Small Cap Inxes. Saham itu yaitu PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM).
Selain itu, MSCI juga keluarkan lima saham Indonesia antara lain PT Indofarma Tbk (INAF), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), PT Totalindo Eka Persada Tbk, dan PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON).
Dalam jajaran MSCI Global Standard Index, MSCI menambah satu saham PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP). Sedangkan MSCI lepas saham PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio menuturkan,MSCI memasukkan saham kelas A emiten China dapat membuat arus dana investor asing sedikit berpindah ke China. Dengan penambahan saham kelas A emiten China membuat bobot saham Indonesia di indeks MSCI menjadi terganggu.
"Bobot investasi MSCI sekarang sekitar USD 13 ribu triliun ikuti arahan sini (MSCI-red). Dari dana itu, sekitar USD 1,7 triliun masuk ke emerging market termasuk Indonesia. Pasar saham Indonesia dapat sekitar 2,54 persen sekarang turun 2,2 persen karena dilusi. Sekitar Rp 18 triliun kemungkinan bisa pindah," ujar Tito saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Selasa 22 Mei 2018.
Pada 2017, investor asing merealisasikan keuntungan sekitar Rp 40 triliun di pasar saham Indonesia. Hingga penutupan perdagangan saham 21 Mei 2018, aksi jual investor asing mencapai Rp 41,82 triliun.
Tito menilai, aksi jual investor asing terjadi pada 2017 bukan berarti investor asing menarik seluruh dana dari pasar saham Indonesia. Akan tetapi, investor asing tersebut merealisasikan keuntungannya.
"Tahun kemarin mereka Rp 40 triliun tidak jual. Mereka merealisasikan keuntungan karena portofolio naik Rp 200 triliun dari Januari-Desember 2017,” kata Tito.
Sedangkan aksi jual investor asing yang terjadi hingga memasuki kuartal II 2018, Tito menilai hal tersebut lantaran investor asing juga ada yang memindahkan dananya ke surat utang atau obligasi. Selain itu, investor asing juga kemungkinan masuk ke saham-saham lainnya. Tito menambahkan, ada juga pengaruh bertambahnya saham kelas A emiten China di indeks MSCI sehingga membuat investor asing menarik dananya.
"Ada beberapa switch karena china buka saham seri A dengan market capitalization besar kemungkinan akan dilusi MSCI kita bobot investasi di Indonesia. Benar-benar ancaman buat kita,” tutur Tito.
Analis PT Binaartha Sekuritas Nafan Aji menuturkan hal sama. Arus dana investor asing dapat keluar dari pasar saham Indonesia dengan bertambahnya saham kelas A emiten China di indeks MSCI. Apalagi penilaian saham masuk MSCI juga melihat kapitalisasi pasar dan fundamental perusahaan.
"Salah satunya terjadi outflow dari pembobotan atau rebalancing MSCI," ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.
Meski demikian, rebalancing MSCI bukan menjadi satu-satunya faktor membuat maraknya aksi jual investor asing. Nafan menilai, kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) menguat sehingga dorong penguatan dolar AS dan imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor AS capai level tertinggi juga jadi pemicu aksi jual investor asing.
"Keadaan ekonomi AS kuat mendorong spekulasi the Federal Reserve akan kembali menaikkan suku bunga," ujar dia.
Akan tetapi, Nafan yakin investor asing masih melihat pasar saham Indonesia. Hal ini didukung dari kegiatan internasional yang akan diselenggarakan di Indonesia antara lain Asian Games 2018, pertemuan IMF-Bank Dunia pada Oktober 2018 dapat mendorong sektor konsumsi menguat.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement