Usul Indef agar Dana Investor Asing Tak Kabur dari RI

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritisi kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dinilai terlalu agresif menaikkan suku bunga acuan.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Jul 2018, 18:32 WIB
Ilustrasi Foto Suku Bunga (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritisi kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dinilai terlalu agresif menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps).

"Semalam di Bank Indonesia juga dibahas hampir sampai jam 11 malam merespons kritik kami mengenai suku bunga acuan ini," kata Direktur Indef, Enny Sri Hartati  dalam sebuah acara diskusi, di Kawasan Pasar Minggu, Selasa (3/7/2018).

Enny menegaskan, pihaknya bukan berarti menentang kenaikan suku bunga acuan. Namun, current account deficit (defisit nerac berjalan) masih dinilai aman.

"Bukan kami tidak setuju kenaikan bunga acuan, kalau melihat data account deficit kita cukup besar dan salah satu dewa penolong nya memang capital account (neraca modal)," ujar dia.

Enny menyatakan, kenaikan suku bunga acuan ini memamg memiliki dampak langsung terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun kebijakan tersebut juga berdampak pada sektor lain. Salah satunya, aliran dana investor asing yang banyak dari portofolio. Jika suku bunga terus naik, pemasukan dari aliran dana investor asing dikhawatirkan menurun.

"Dan jumlahnya memang cukup besar ya, jadi jumlah ketergantungan kita terhadap capital inflow dari portofolio itu selama ini hampir sekitar 200 miliar USD dan itu tidak mungkin memang dalam jangka pendek tergantikan," kata dia.

Sementara itu, pemasukan dari sektor lain dinilai tidak mampu diharapkan. Misalnya dari sisi ekspor. Ekspor Indonesia masih jauh di bawah impornya. Di tengah kondisi perekonomian global yang dipenuhi ketidakpastian, Enny berharap kebijakan-kebijakan  yang diambil harus betul-betul diperhitungkan dari segala sisi dan juga antara bagaimana misalnya risiko dan juga kepastian dari kemanfaatan kebijakan tersebut.

Enny beranggapan, kenaikan suku bunga acuan oleh BI bertujuan mencegah aliran dana investor asing keluar dari Indonesia. "Ini selalu begitu dan alasan yang selalu dijadikan alasan supaya tidak terjadi capital outflow,” ujar dia.

Padahal, menurut dia ada hal yang lebih penting yaitu agar capital inflow tetap terjaga terutama dari sisi portofolio dan menciptakan kepercayaan diri (confident) terhadap investor kalau investasi di Indonesia sangat aman.

"Ini triknya fluktuasi in dan out-nya ini fluktuatif sekali. Artinya sebenarnya dari data itu kita bisa membaca sebenarnya apa yang menjadi penyebab dan juga daya tarik capital inflow di portofolio itu tetap stay, kabur atau tidak. Memang bagaimanapun secara teoritis maupun praktis suku bunga salah satu insentifnya, tetapi insentif suku bunga ini jangka sangat pendek,” kata dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com


Indef: Suku Bunga Tinggi, Ekonomi Tumbuh Makin Sulit

Ilustrasi Foto Suku Bunga (iStockphoto)

Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan Bank Indonesia (BI) yang terus menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen akan ‘menganggu’ target pertumbuhan ekonomi. 

Peneliti Indef, Eko Listianto mengatakan, BI terlalu agresif merespons kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) yang terus menaikkan suku bunga acuan di AS.

"Intinya bunga melejit pertumbuhan ekonomi makin sulit. Kalau kita tarik sejak krisis global. Fluktuasi the fed terjadi sejak 2015, pada saat yang sama BI rate nya turun terus. Ini gambaran upaya mendorong ekspansi ekonomi. Namun pada saat yang bersamaan Amerika Serikat mengalami perbaikan ekonomi," kata Eko, dalam sebuah acara diskusi di Kawasan Pasar Minggu, Selasa 3 Juli 2018.

Eko menyayangkan, sikap BI yang terlalu reaktif tersebut. Padahal, cadangan devisa Indonesia sejauh ini masih aman. Eko mengungkapkan, berdasarkan data BI posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2018 tercatat USD 126,00 miliar, masih cukup tinggi meskipun lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2018 sebesar USD 128,06 miliar.

Eko juga berharap pemerintah bisa menahan diri dari 'obral' obligasi sebab kenaikan bunga acuan akan membuat pasar obligasi diminati. Namun demikian, dengan memperhatikan efektivitas utang pemerintah yang tumpul dalam mengakselerasi ekonomi, situasi kenaikan bunga acuan saat ini tidak boleh menjadi 'windfall' bagi pemerintah untuk memacu utang. 

"Jika agresivitas pemerintah dalam perburuan pendanaan melalui utang meningkat, dikhawatirkan 'perang bunga' akibat berkurangnya likuiditas tidak terhindarkan. Lebih dari itu, 'obral' obligasi di tengah situasi kontraksi ekonomi dapat berakibat pada pengetatan likuiditas yang berlebihan, sehingga kebijakan mengalami 'overdosis'," ujar dia.

Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau disebut BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,5 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps juga menjadi 6 persen yang diumumkan pada hasil pertemuan 28-29 Juni 2018.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya