Liputan6.com, Jakarta - Morgan Stanley prediksi Bank Indonesia (BI) belum akan kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate pada 2018-2019. Hal itu mengingat suku bunga acuan BI telah naik 100 basis poin (bps).
Morgan Stanley melihat BI tidak seagresif pada 2013 yang menaikkan suku bunga acuan akumulasi mencapai 200 basis poin (bps). Berdasarkan laporan Morgan Stanley bertajuk How Much More To Go for this Rate Hike Cycle yang disusun oleh Ekonom Morgan Stanley Deyi Tan dan Zac Su menyebutkan sejumlah faktor yang mendukung kenaikan suku bunga acuan BI tidak seperti 2013.
Pertama, Morgan Stanley melihat dolar AS akan cenderung tertekan dengan tren secular bear pada kuartal IV 2018. Selain itu, imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun tidak akan bertahan di atas tiga persen. Morgan Stanley hal itu akan memakan waktu menekan rupiah.
Baca Juga
Advertisement
Kedua, fundamental makro ekonomi tidak seperti pada 2013. Namun, siklus kenaikan suku bunga diperparah ketika tekanan pendanaan eksternal bertemu dengan fundamental makro domestik yang tidak menguntungkan.
"Yang pasti saat ini pada kuartal II 2018, defisit neraca berjalan melemah karena masih terlihat defisit perdagangan pada April dan Mei. Penyangga cadangan devisa juga lebih baik," tulis ekonom Morgan Stanley dalam laporannya, seperti dikutip Rabu (4/7/2018).
BI menaikkan suku bunga acuan atau disebut BI 7-day reverse repo rate sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen usai melakukan pertemuan pada 28-29 Juni 2018. Morgan Stanley melihat, kenaikan suku bunga acuan itu lebih besar dari yang diharapkan. Sejauh ini, kenaikan suku bunga acuan lebih awal dan lebih tinggi dari yang diperkirakan pada enam bulan lalu.
"Ini karena dolar AS menguat dan rupiah tertekan. Tidak seperti mandate bank sentral lainnya yang jaga inflasi dan pertumbuhan. Bank Indonesia menjaga kestabilan rupiah. BI pun mengantisipasi kekhawatiran tentang pergerakan mata uang secara tiba-tiba," seperti dikutip dari laporan itu.
Kenaikan suku bunga menjamin stabilitas makro dengan meningkatkan selisih antara suku bunga riil di Indonesia dengan AS. Adapun tingkat suku bunga riil yang tinggi memberikan tekanan pada pertumbuhan, tetapi dampak pertumbuhan dapat dikelola untuk saat ini.
Suku bunga kebijakan sebesar 5,25 persen dan harapan inflasi Morgan Stanley sebesar 3,8 persen pada 2019 menempatkan suku bunga kebijakan riil pada 1,5 persen lebih tinggi dari tingkat suku bunga kebijakan riil netral pada 0,75 persen seperti yang diperkirakan BI.
Tingkat suku bunga riil yang lebih tinggi akan membebani pertumbuhan kredit, tetapi dampak dari pertumbuhan sejauh ini masih bisa dikelola baik. Ini karena para pembuat kebijakan melonggarkan persyaratan makroprudensial untuk pinjaman properti dalam mendukung pertumbuhan.
Selain itu, dampak dari suku bunga kebijakan bisa jadi tidak efektif akibat mekanisme transmisi suku bunga yang kurang sempurna, dan data makro ekonomi yang saat ini menunjukkan ekonomi masih bisa serap kenaikan suku bunga ini.
Faktor Risiko yang Perlu Dicermati ke Depan
Lalu apa faktor risiko yang perlu diperhatikan ke depan?
Morgan Stanley melihat sejumlah risiko yang perlu diperhatikan antara lain dolar Amerika Serikat yang menguat, imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun yang lebih tinggi dan juga harga minyak yang berdampak terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
Hal tersebut perlu diperhatikan untuk menjaga pergerakan suku bunga kebijakan dari BI. Risiko suku bunga kebijakan cenderung naik dan risiko pertumbuhan cenderung menurun.
"Dengan perangkat suku bunga kebijakan yang fokus pada perlindungan stabilitas makro, pembuat kebijakan harus bergantung pada perangkat kebijakan antara lain mempermudah makroprudensial, langkah-langlah pengelolaan likuiditas dan kebijakan fiskal demi dukung pertumbuhan,” tulis ekonom Morgan Stanley.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement