Liputan6.com, Moskow - Jordan Pickford langsung "diserbu" pemain Inggris usai Eric Dier memastikan langkah mereka ke 8 Besar Piala Dunia 2018 lewat sepakan penaltinya. Inggris menang adu penalti 4-3 atas Kolombia di fase 16 besar, usai laga berakhir imbang 1-1 di waktu normal, Selasa (3/7/2018).
Pickford dan kawan-kawan pun berpesta di Stadion Otkrytiye Arena. Ini ketujuh kalinya, Inggris lolos ke fase 8 besar Piala Dunia.
Baca Juga
Advertisement
Pickford memang punya peranan penting dalam drama adu penalti itu. Dia menahan tendangan Carlos Bacca, pengambil penalti kelima Kolombia. Dengan tangan kirinya, kiper Everton itu menahan sepakan keras kaki kanan Bacca.
"Ini masalah penempatan posisi, saya sudah mempelajarinya," ujar Pickford. "Kami tahu kami harus memenangkan pertandingan ini, meski harus melalui tendangan penalti."
Bagi Inggris sendiri, ini merupakan drama adu penalti pertama yang mereka menangkan di Piala Dunia. Terakhir, Inggris terlibat drama adu penalti pada perempat final Piala Dunia 2006, lawan Portugal. Ketika itu Inggris kalah 1-3.
Tak pelak, antusiasme pun langsung menyeruak di kubu The Three Lions. Mereka pun makin optimistis menjelang laga 8 besar Piala Dunia 2018 lawan Swedia.
Dier menyebut, Inggris memang telah menyiapkan semuanya di ajang Piala Dunia ini, termasuk saat menghadapi drama adu penalti.
"Kami tak pernah panik menghadapi situasi tendangan penalti. Kami sudah mempersiapkan diri dengan baik dan kami berhasil melakukannya dengan baik juga," ujar Dier.
Pernyataan Dier pun terbukti dengan lolosnya Inggris ke 8 besar Piala Dunia 218.
Penebusan Dosa Southgate
Pelatih Soutgate pun begitu semringah. Baginya, membawa Inggris memenangkan drama adu penalti lawan Kolombia ibarat penebusan dosanya 22 tahun lalu.
Ketika itu, di semifinal Piala Eropa 1996, berstatus sebagai pemain, Southgate gagal menunaikan tugas dengan baik saat jadi salah satu eksekutor Inggris di adu penalti lawan Jerman. Tendangan Southgate mudah saja ditepis kiper Jerman, Andreas Koepke. Inggris kalah 4-5 di adu penalti.
"Ini hari yang spesial bagi semua orang Inggris. Suporter yang ada di (stadion) sini dan semua suporter di rumah," ujar Southgate selepas laga. Kini, mantan pemain belakang andal itu pun membidik prestasi lebih bersama The Three Lions. "Saya belum mau pulang," ujar pria berusia 47 tahun itu.
Advertisement
Mimpi Juara
Southgate menyebut, ini adalah kesempatan terbaik Inggris untuk menunjukkan pamor mereka sebenarnya. Bukan cuma mengalahkan Swedia, lawan mereka di 8 besar, melainkan lebih dari itu.
"Kami bisa menciptakan cerita dan sejarah kami sendiri. Sebagian (sejarah) itu bahkan kami sudah melakukannya," mantan pemain Crystal Palace, Aston Villa, dan Middlesbrough itu menuturkan.
Juara, bisa jadi itu mimpi yang kini bergelayut di benak Southgate, pemain, serta seluruh suporter Inggris. Maklum, kepercayaan diri mereka memang sedang tinggi.
Kemenangan atas Kolombia, meski lewat adu tendangan penalti, bisa mereka jadikan momentum untuk melangkah lebih jauh, dan jadi juara.
Apalagi, mereka sudah lama sekali tak bergelar juara Piala Dunia, setelah pertama dan terakhir kali jadi yang terbaik di dunia, pada Piala Dunia 1966 di tanah sendiri. Setelah itu, prestasi terbaik Inggris hanya semifinal, pada Piala Dunia 1990.
Lewati Ujian
Tentu tidak salah jika Inggris bermimpi menjadi juara dunia di Rusia. Kemenangan atas Kolombia jelas membuat kepercayaan diri mereka semakin tebal.
Kolombia juga bisa diartikan sebagai tes sesungguhnya yang bisa mereka lewati. Sebab, sebelumnya di fase grup, bisa dibilang mereka belum menemukan lawan sepadan.
Tunisia dan Panama yang mereka hantam 2-1 dan 6-1 jelas berada di bawah Harry Kane dan kawan-kawan kelasnya. Terbukti, lawan Belgia di laga terakhir, Inggris pun tumbang 0-1.
Walau ada sedikit penjelasan atas kekalahan itu. Di laga lawan Kolombia, Southgate mengganti sembilan pemain inti The Three Lions.
Namun, tentu, di luar itu, Inggris punya modal lain, berupa skuat muda yang fresh, segar, dengan kemampuan dan pengalaman bak pemain senior.
Lihat saja, rata-rata usia pemain yang dibawa Southgate hanya berkisar 26 tahun. Di Rusia, mereka jadi tim dengan rata-rata pemain termuda kedua setelah Nigeria, 25,9 tahun.
Tapi, justru dengan pasukan muda inilah, Inggris jadi berbeda. Mereka bukan lagi tim unggulan yang banyak mengandalkan Gary Lineker, Paul Gascoigne, David Beckham, Michael Owen, Wayne Rooney seperti di Piala Dunia-Piala Dunia sebelumnya.
Di lapangan, kini Inggris menjadi sebuah tim yang utuh, yang lebih mengandalkan semangat tinggi dan kolektivitas permainan.
Di negeri sendiri, Southgate dan pasukannya juga tak banyak mendapat tekanan. Berbeda dengan yang dialami Lineker, Gascoigne, Beckham, Owen serta Rooney dan kawan-kawan. Nah, bagaimana Southgate?
Advertisement