Obligasi Jangka Pendek Jadi Pilihan Investor saat Rupiah Bergejolak

Saat ini investor dan pelaku pasar asing cenderung menunggu nilai tukar rupiah bergerak stabil terhadap dolar Amerika Serikat.

oleh Bawono Yadika diperbarui 05 Jul 2018, 16:45 WIB
Sepanjang perdagangan hari ini (30/5), IHSG bergerak pada kisaran 5.693,39 - 5.730,06, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gejolak yang terjadi pada nilai tukar rupiah akibat sentimen global berpengaruh khusus pada sektor investasi. Investor kini dinilai lebih tertarik pada surat utang (obligasi) berjangka pendek.

Executive Vice President Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia Renny Raharja mengatakan, obligasi jangka pendek kini berpotensi menjadi pilihan.

"Karena tekanan rupiah belum mereda, investor lebih menginginkan imbal hasil (yield) yang lebih besar. Jadi obligasi jangka pendek bisa jadi pilihan," tutur dia di Jakarta, Kamis (05/7/2018).

Imbal hasil obligasi di Indonesia saat ini untuk jangka waktu 10 tahun sebesar 7,8 persen. Sementara itu, untuk imbal hasil obligasi bertenor setahun sebesar 7,4 persen.

"Mereka ingin yield lebih tinggi karena memperhitungkan aspek dari rupiah ini nantinya kepada total return yang mereka harapkan. Mereka minta lebih tinggi karena tekanan rupiah yang akan berdampak pada imbal hasil mereka," ujarnya.

Renny menambahkan hal ini seperti terlihat dari dana kelola oleh perusahaan. Hingga akhir Juni 2018, perseroan mencatatkan dana kelola sebesar Rp 83,2 triliun.

"Ini tercermin dari reksa dana yang dikelola Schroders Indonesia. Per akhir Juni 2018 Schroders Indonesia memiliki dana kelolaan sekitar Rp 83,2 triliun. Reksa dana yang menjaring paling banyak dana kelolaan adalah reksa dana campuran dan obligasi jangka pendek," tandasnya.


Bedanya Tekanan Rupiah terhadap Dolar AS pada 2018 dan 2015

Pekerja melintas di bawah layar indeks saham gabungan di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Schroder Investment Management Indonesia menyatakan, saat ini investor dan pelaku pasar asing cenderung menunggu nilai tukar rupiah bergerak stabil terhadap dolar Amerika Serikat

Executive Vice President Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia, Renny Raharja mengatakan, investor asing asing menunggu kepastian dari nilai tukar rupiah RI saat ini.

"Saat ini memang asing lebih menunggu kepastian apakah nilai tukar rupiah kita confident atau tidak ya," tutur dia di Jakarta, Kamis (5/7/2018).

Renny menambahkan, kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) lebih berupaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar bukan untuk penguatan rupiah.

"Pressure dari kondisi ekonomi global di luar negeri membuat rupiah sulit untuk menguat. Jadi BI memang mengusahakan rupiah ini untuk stabil bukan menguat," kata Renny.

Mata uang India dan Filipina, menurut Renyy paling turun tajam imbas dampak kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Akan tetapi, bursa saham India dan Filipina masih positif.

"Indonesia memang di atas Filipina dan India. Kita turun (nilai tukar) sebesar 5,71 persen, sedangkan Filipina turun 6,74 persen dan India yang sebesar 7,15 persen," ujar dia.

Adapun laju indeks India year-to-date (YTD) positif 3,74 persen, kemudian JCI dan LQ 45 Indonesia turun sebesar 11,40 persen dan 17,92 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya