Masihkah Mesin Partai Punya Pengaruh?

Di era digital ini, mesin partai politik tidak mampu bersaing dengan buzzer yang disewa oleh individu, untuk memasarkan dirinya guna mencari dukungan suara.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2018, 18:30 WIB
Opini Benny Susetyo PR (liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Hasil hitung cepat Pilkada serentak 2018 dipandang memiliki pengaruh terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi, hal tersebut diulas oleh beberapa media asing. 

Situs berita Bloomberg, misalnya, menilai hasil Pilkada 2018 mengindikasikan masa jabatan kedua buat Jokowi. Kemenangan partai koalisi pengusung Presiden Jokowi di sejumlah daerah pemilihan dinilai penting, sebagai momentum menjelang Pilpres tahun depan.

Media-media asing lainnya juga banyak menyoroti hasil Pilkada di Jawa Barat. Harian berbasis di Amerika Serikat, Wall Street Journal, menurunkan laporan dengan judul "Kekalahan partai-partai Islamis dalam Pilkada mengendurkan tekanan terhadap Presiden Indonesia."

Artikel itu menyebut, para pemilih di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, menghadiahkan kemenangan bagi koalisi Presiden Joko Widodo, dan mengendurkan tekanan terhadap sang pemimpin moderat dari rasa percaya diri kelompok muslim garis keras, yang semakin besar jelang Pilpres tahun depan.

Sebaliknya harian bisnis Jepang, Nikkei Asian Review, menganalisa hasil Pilkada 2018 dengan lebih kritis. Menurut koran yang terbit di Tokyo itu, Pilkada kali ini bisa dianggap sebagai tembakan peringatan ke arah Presiden Joko Widodo tentang dukungan yang kian menyusut.

NAR juga menulis ketatnya persaingan dengan partai oposisi di sejumlah daerah pemilihan (dapil) penting, akan mendorong Presiden Jokowi membuat kebijakan yang lebih populis untuk mendulang suara pada pemilu tahun depan.

Analisa menguatkan posisi Joko Widodo bisa terpilih lagi menjadi presiden, kecuali ada faktor X memunculkan alernatif pilihan yang lain yakni poros ketiga.

Tapi pilihan ketiga agak sulit, melihat ego partai politik masih terjebak kepada figur ketua partai yang menentukkan pilihan, bukan pada kebutuhan rakyat. Hal ini menyebabkan, betapa sulit partai politik menentukan siapa yang akan melawan Joko Widodo.

Apapun yang terjadi, Pilkada serentak 27 Juni sebenarnya tidak banyak mengubah peta kekuataan politik. Karena sebenarnya mesin partai politik tidak optimal, seperti selama ini dihembuskan di publik.

 

 


Era Pilkada Berorientasi Kemampuan Figur

Ridwan Kamil, Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi, tiga nama kuat berpotensi maju di Pilkada Jabar (Liputan6.com/Luqman Rimadi)

Era Pilkada berorientasi pada kemampuan individu, dari pada roda mesin partai. Karena rezim Pilkada lebih dominan pada kemampuan figur dari pada mesin partai politik.

Hal ini bisa dipahami dengan membaca hasil Pilkada 2018. Juga teori marketing politik yang lebih mengandalkan kemampuan kepopuleran calon di mata publik, dari pada kemampuan birokrasi dan manajemen.

Dalam study marketing politik, individu dibranding dengan metode-metode pemasaran bisnis, sehingga produk bisa layak jual.

Sosok ditampilkan di publik dengan orientasi kemampuan individu dalam menyakinkan pemilih. Peranan partai politik kurang optimal, akhirnya partai politik hanya sekedar kendaraan yang dibeli dengan mahar. Hal ini terjadi akibat sistem politik yang "demokrasi liberal", tanpa diimbangi kesadaran publik menjadi pemilih rasional.

Dalam study politik, marketing pemasaran politik sebagai cabang kajian akademis sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian ilmuwan komunikasi dan politik pada 1950-an. Namun, implementasi konsep pemasaran politik baru berkembang tahun 1980-an, ketika media televisi memiliki peran yang sangat penting dalam penyampaian pesan.

Kajian pemasaran politik secara akademis dari waktu ke waktu mengalami pergeseran penekanan (Adman Nursal): Shama (1975) dan Kotler (1982): menekankan pada proses transaksi yang terjadi antara pemilih dan kandidat. Sedangkan, O'Leary dan Iradela (1976): menekankan pada penggunaan marketing mix untuk mempromosikan partai politik.

Pendapat lain dikemukakan oleh Lock dan Harris (1996): menekankan pada proses positioning. Sedangkan, Wring (1997): menekankan pada penggunaan riset opini dan analisa lingkungan. Dengan demikian, hal yang tampak baru dalam perkembangan pemasaran politik adalah pada penerapan riset pemasaran atau riset opini.

Konsep pemasaran mengalami pergeseran perspektif dari orientasi internal perusahaan (internal oriented) ke orientasi pasar (market oriented). Perusahaan atau produsen saat ini tidak cukup hanya sekedar berorientasi pada produk, tapi juga harus memperhitungkan kondisi pasar yang dihadapi.

 


Pemasaran Politik

Surat suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2018 yang berada di gudang logistik KPU Kabupaten Bogor, Jawa Barat (25/5). Setiap warga mampu menyelesaikan 2000 kertas suara perhari. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Dalam orientasi pasar, terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu orientasi pada konsumen (customer oriented) dan orientasi pada pesaing (competitor oriented).

Konsep market oriented yang digunakan dalam pemasaran politik, bukan berarti bahwa partai politik atau kandidat harus sepenuhnya memenuhi apa keinginan pasar. Karena masing-masing partai politik juga memiliki ideologi dan aliran pemikiran yang menjadi ciri khasnya.

Konvergensi yang ditawarkan dari pandangan pro dan kontra pemasaran politik adalah bahwa pemasaran politik berbeda dengan pemasaran komersial, yang menjual partai atau  kandidat kepada pemilih sebagai proses transaksional.

Pemasaran politik memerlukan berbagai pendekatan keilmuan dan bersifat khas, dibandingkan konsep pemasaran dalam ilmu ekonomi manajemen. Karena produk politik sangat berbeda dengan produk komersial, baik ditinjau dari karakteristik produk maupun karakteristik konsumen. 

Pemasaran politik memiliki dimensi yang lebih luas dan menjadi lebih kompleks. Firmanzah dalam bukunya, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, mengatakan bahwa hal penting yang ingin disampaikan dalam konsep pemasaran politik adalah: pemasaran politik menempatkan pemilih sebagai subyek, bukan obyek dari partai politik atau kandidat.

Pemasaran politik menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam menyusun program kerja, yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai atau kandidat.

Pemasaran politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan dengan pemilih, sehingga dari sini akan terbangun kepercayaan untuk selanjutnya memperoleh dukungan suara mereka.

Pilkada langsung sebenarnya tidak mencerminkan mesin partai politik bekerja, namun lebih pada upaya calon untuk memasarkan dirinya.

Akibatnya, ikatan emosional dengan partai politik dengan sistem koalisi yang cair, tidak memberikan kontribusi yang besar kepada partai politik yang memberikan dukungan pada calon yang terpilih, karena partai politik pendukung tidak memberikan kontribusi yang optimal.

Apalagi di era digital ini, mesin partai politik tidak mampu bersaing dengan buzzer yang disewa oleh individu, untuk memasarkan dirinya guna mencari dukungan suara.

Dengan membaca realitas Pilkada rezim pencitraan individu, akan sulit untuk mengklaim bahwa mesin partai politik memiliki sumbangan signifan dalam pemenangan Pilkada.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya