Biaya Hidup Tinggi, Ongkos Kematian di Hongkong Harganya Selangit

Terkenal karena tingginya biaya hidup, Hongkong juga bukan tempat yang murah untuk kematian seseorang.

Oleh DW.com diperbarui 07 Jul 2018, 12:00 WIB
Seorang siswa remaja berbaring di dalam peti mati di Kid Mai Death Awareness Cafe, Thailand (30/3). Selain itu cafe ini juga menyediakan menu yang cukup aneh seperti minuman rasa "kematian" dan "menyakitkan". (AFP/Lillian Suwanrumpha)

Liputan6.com, Hong Kong - Meski luas totalnya hanya sekitar 1.100 kilometer persegi, Hongkong adalah rumah bagi 7,3 juta jiwa. Keadaan ini membuat kota pusat keuangan di Asia ini menjadi tempat hidup yang paling padat dan mahal di dunia.

Malah sudah lima tahun belakangan ini, Hongkong terus menyandang predikat sebagai "kota paling tidak terjangkau sedunia."  

Menurut riset sebuah institut di Amerika, Demographia, seseorang dengan pendapatan bulanan rata-rata butuh waktu 19 tahun untuk mengumpulkan gajinya secara utuh supaya bisa membeli tempat tinggal. Itu berarti belum dipotong pajak maupun pengeluaran rutin lainnya.

Bukan hal yang aneh jika menemukan beberapa keluarga hidup berjejalan dalam satu flat sempit yang dibagi lagi menjadi beberapa bagian.

Hunian yang dikenal dengan nama "bilik peti mati" ini berupa ruang dengan dinding sekat kayu berukuran tidak lebih dari tempat tidur untuk dua orang. Kondisi ini sangat kontras bila dibandingkan dengan citra Hongkong sebagai kota metropolitan yang makmur, seperti yang sering muncul di berita internasional.

Keterbatasan tempat ini tidak hanya berimbas kepada manusia yang masih hidup, tetapi juga yang sudah mati. Hongkong kini juga menghadapi masalah kekurangan ceruk kolumbarium, yaitu tempat untuk menyimpan guci penyimpanan abu jenazah. Demikian seperti dikutip dari Deutsche Welle, Sabtu (7/7/2018).

Diprediksikan akan ada sekitar 1,1 kali kremasi dalam 20 tahun mendatang. Sementara pemerintah hanya mampu menyediakan 800.000 thingga 900.000 tempat penyimpanan guci baru. Namun ini juga tergantung apakah masyarakat nantinya akan setuju dengan lokasi yang dipilih sebagai tempat kolumbaria.

Ceruk kolumbarium untuk umum dikenakan biaya $330 (sekitar Rp 4,7 juta) per unitnya. Namun dengan angka kematian yang mencapai 43.000 orang per tahun selama sepuluh tahun terakhir, dan hanya tersedia 500 tempat per tahun, para keluarga yang ditinggalkan harus menunggu setidaknya empat tahun untuk mendapatkan satu ceruk.

Banyak yang tidak punya pilihan lain selain beralih kepada kolumbarium yang dikelola swasta. Namun kurangnya suplai telah membuat harga kian meningkat.

Harga untuk satu unit kolumbrium pribadi saat ini yaitu sekitar $10,000 (Rp 144 juta). Harga juga tergantung dari lokasi dan perhitungan feng shui (ramalan China). Di kolumbaria yang paling mahal, satu unit ceruk bisa dibanderol Rp 2,2 miliar.

 

Saksikan video ppilihan berikut ini:


Peraturan Perijinan Baru

Ilustrasi Mayat (Istimewa)

Hingga akhir 2016 terdapat 133 pengelola kolumbaria swasta yang menyediakan 365.000 ceruk. Kebanyakan terletak di dekat pemukiman penduduk dan menimbulkan keresahan terhadap orang-orang yang tinggal di dekatnya.

"Jasa pelayanan pemakaman dan kematian dianggap tabu dalam budaya China. Banyak penduduk merasa tidak nyaman tinggal di dekat kolumbaria," juru bicara Aliansi untuk Kepedulian atas Kebijakan Kolumbarium, Pius Yum Kwok-Tung, mengatakan kepada DW.

Untuk menghindari hal ini, pemerintah membuat peraturan baru yang mesti dipatuhi oleh para pengelola kolumbaria. Diantara peraturan tersebut misalnya tidak membuat kolumbaria di lantai dasar bangunan hunian.

Peraturan ini akan berdampak kepada para operator pengelola kolumbaria yang ada sekarang karena banyak yang terletak di wilayah padat seperti di Hung Hum. Jika operator ini tidak diberikan izin baru, maka ribuan ceruk harus direlokasi dan memaksa lebih banyak lagi orang untuk mencari tempat penyimpanan abu jenazah.

Hal ini membuat banyak orang kecewa karena tidak mampu menyediakan tempat beristirahat yang tenang bagi keluarga mereka --yang merupakan hal penting dalam budaya China.

Menyadari bahwa membuka tempat baru untuk kolumbaria bukanlah solusi yang berkelanjutan untuk populasi di Hongkong yang kian menua, pemerintah setempat mengupayakan adanya metode penguburan alternatif.

Saat ini sudah ada sebanyak sebelas taman memorial yang dikelola oleh pemerintah dimana publik bisa menyebarkan abu jenazah orang-orang yang mereka cintai. Penduduk Hongkong juga disarankan untuk menebarkan abu ke laut yang saat ini sudah dibuka tiga titik untuk melakukannya.

Namun selain penguburan seperti itu, Yum juga menyarankan agar pemerintah menyediakan banyak alternatif.

"Kami berharap pemerintah juga akan mempromosikan manik-manik permata (di mana abu sanak keluarga diubah menjadi manik-manik yang dapat disimpan dalam wadah kaca," kata dia.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya