Banyak Pabrik Tutup, Ribuan Pekerja Pelinting Rokok Masih Menganggur

Para pelinting rokok pun sulit bersaing jika harus beralih ke lapangan pekerjaan baru. Itu karena mereka memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas.

oleh Nurmayanti diperbarui 07 Jul 2018, 17:00 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok. (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta Penutupan pabrik pengolahan tembakau berdampak kepada pemecatan pekerja. Hingga kini, puluhan ribu pelinting rokok belum mendapatkan lapangan kerja baru.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM), Sudarto mengatakan, para pelinting rokok pun sulit bersaing jika harus beralih ke lapangan pekerjaan baru. Itu karena mereka memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas.

Para pekerja pun sulit bila harus pindah kerja ke sektor lain atau bersaing dengan pencari kerja di sektor lain. "Negara perlu hadir untuk mereka," jelas dia melalui keterangannya, Sbatu (7/7/2018).

Dalam rentang 2006-2016, sedikitnya 3.100 pabrik tutup dan 32.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagian besar dari mereka adalah pelinting. Sebab, hampir seluruh pabrik yang ditutup merupakan pabrik sigaret kretek tangan (SKT).

Bahkan jumlah pekerja yang terkena PHK diprediksi lebih besar. Itu karena ada sejumlah pabrik yang tidak tergabung di asosiasi dan data mereka tidak terpantau.

Sudarto mengatakan, solusi untuk masalah itu harus komprehensif. Pemerintah harus melihat hingga ke akar masalahnya yakni semakin berkurangnya pabrik SKT.

Kini, berbagai kebijakan pemerintah memang tidak ramah SKT. Dengan berbagai alasan, pemerintah mendorong penurunan konsumsi rokok khususnya SKT.

Karena karakter produknya, konsumsi SKT butuh waktu lebih lama dibandingkan konsumsi sigaret kretek mesin (SKM). Padahal, berbagai regulasi mendorong waktu konsumsi rokok semakin singkat. Akibatnya, semakin banyak orang beralih ke SKM dan SKT ditinggalkan.

Sudarto mengatakan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan juga nasib pekerja SKT. Pemerintah harus mencari solusi untuk kesejahteraan pelinting. "Mereka juga warga negara Indonesia dan pemerintah harus hadir untuk mereka," tutup dia.


Pemerintah Diminta Tak Naikkan Cukai Rokok Tahun Depan

Pekerja di sebuah perusahaan rokok di Malang.(Zainul Arifin/Liputan6..com)

Pemerintah diharapkan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2019 karena dinilai bisa berdampak negatif bagi kelangsungan industri. Besaran tarif cukai yang tinggi dalam 5-8 tahun terakhir ini menyebabkan penurunan jumlah buruh rokok.

“Faktanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) masih terjadi setiap tahun. Salah satu faktornya adalah karena kenaikan cukai. Kalau omset turun, pengusaha pasti PHK pekerjanya,” kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) Sudarto, Jumat (8/6/2018).

Menurut Sudarto, pemerintah memang memiliki kepentingan meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan belanja negara setiap tahunnya. Namun besaran tarif cukai yang tinggi dalam 5-8 tahun terakhir ini menyebabkan penurunan jumlah buruh rokok.

“Kami aktif menyuarakan dari pejabat tingkat kabupaten/kota, sampai berbagai instansi/pejabat tingkat pusat. Saya bahkan pernah menyampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo,” ujar dia.

Senada dengan Sudarto, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPS) Sjukrianto, berharap pemerintah tidak menaikkan lagi tarif cukai rokok.

“Imbas dari kenaikan cukai rokok ini panjang, dari pekerja rokok, industri, pedagang, sampai ke penerimaan negara. Masih banyak sumber pendapatan negara dari pos lainnya,” kata Sjukrianto.

Tarif cukai rokok yang rata-rata sebesar 10 persen pada tahun ini saja dinilai sudah sangat membebani para pelaku usaha kecil. Perkiraannya, pertumbuhan pendapatan dari penjualan rokok pada tahun ini akan stagnan.

“Apalagi kalau cukai rokok tambah dinaikkan, pendapatan tidak akan tumbuh,” ungkap dia.

Menurut Sjukrianto, pemerintah selalu menaikkan tarif cukai rokok dalam 3-4 tahun terakhir ini. Sayangnya, kebijakan tersebut dibuat tanpa memperhatikan peningkatan pendapatan masyarakat.

“Kalau pendapatan masyarakat bertambah, tidak masalah cukai dinaikkan. Tapi kan pendapatan masyarakat juga belum naik,” tutur dia.

Anggota Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Andriono Bing Pratikno menambahkan, tarif cukai yang rata-rata 10 persen dalam tiga tahun terakhir ini membuat kinerja industri rokok meredup.

“Data yang tercatat, pertumbuhan kuartal pertama 2017 adalah -1,6 persen year on year dibandingkan kuartal pertama 2016. Indikasi ini memang penerimaan negara meningkat, tapi dalam jumlah batang itu sedikit,” ucapnya.

Tonton Video Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya