Memprihatinkan, Ini yang Akan Terjadi Jika Sebuah Negara Bangkrut

Ini sejumlah hal yang dapat terjadi ketika sebuah negara tengah di ambang kebangkrutan.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Jul 2018, 18:00 WIB
Wilmer Rojas (25) saat membuat tas dari lembaran mata uang Bolivar di Caracas, Venezuela, 30 Januari 2018. Inflasi yang tinggi membuat mata uang tersebut terus kehilangan nilainya. (AFP Photo/Federico Parra)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat yang sejahtera menjadi tanda suatu negara mengarah yang lebih maju dan baik. Sayangnya, hal itu tak mampu dicapai dengan usaha yang mudah.

Sejumlah faktor, startegi politik dan kebijakan, keuangan negara sampai dengan pendidikan dan kesehatan tentu menjadi tolak ukur yang perlu dirancang agar suatu negara dapat dikatakan berhasil.

Akan tetapi, tak semua negara mampu melakukannya. Krisis moneter dan kebijakan yang KKN dapat menjatuhkan suatu negara dalam ambang kehancuran atau kebangkrutan. Selain itu, penduduk juga bisa terjerat dalam lubang kemiskinan dan mengalami kondisi yang buruk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Berikut merupakan hal memprihatinkan yang dapat terjadi di sejumlah negara saat mengalami kebangkrutan.


1. Sistem barter di Venezuela

Seorang pemuda mengumpulkan biji-bijian jagung yang jatuh dari sebuah truk akibat dijarah di luar pelabuhan di Puerto Cabello, Venezuela, Selasa (30/1). Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi yang cukup parah. (AP Photo/Fernando Llano)

Venezuela didapuk jadi negara dengan kemunduran ekonomi paling besar di 2018. The economist memprediksi, negara yang tadinya kaya raya ini harus mengalami kemunduran sebesar -11,9 persen.

Penyebabnya karena konflik terus menerus yang terjadi di sana. Hal ini juga diperparah dengan adanya hiperinflasi dan utang negara yang terus menumpuk. Krisis makin parah, warga Venezuela bertahan hidup dengan sistem barter.

Krisis parah serta tingginya angka inflasi yang melanda Venezuela membuat uang kehilangan nilainya. Warga pun kini terpaksa melakukan barter untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Barter bukan hanya untuk barang, tetapi juga jasa, seperti jasa memotong rambut.


2. Masyarakat kelaparan di Zimbabwe

Ilustrasi anak Zimbabwe yang kelaparan. (niketalk.com)

Pemerintah Zimbabwe yang saat itu dipimpin oleh Robert Mugabe, mengalami kondisi sangat parah. Pemerintah Zimbabwe dilaporkan tengah berjuang mati-matian melawan penyakit kolera, kelangkaan pangan, inflasi parah dan konflik domestik. Saat itu juga, masyarakat Zimbabwe meminta Mugabe lengser dari jabatannya.

Lebih buruk dari itu semua merupakan hyper inflasi di mana harga-harga barang naik tak terkendali. Demi mengatasi defisitnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dalam jumlah sangat besar dari pasar obligasi.

Pinjaman mencapai 131 persen dari PDB. Utang Zimbabwe tercatat mencapai US$ 4,5 miliar dan pemerintah harus menghadapi tantangan pengendalian jumlah pengangguran yang mencapai 80 persen. Tahun 2009, Zimbabwe mendeklarasikan kebangkrutannya.

Situasi ini ditambah dengan kekeringan yang melanda Zimbabwe. Masyarakat Zimbabwe mengalami kelaparan yang berkepanjangan. Mereka sulit mendapatkan kebutuhan prioritas seperti makanan, air, layanan kesehatan, sanitasi dan perlindungan.


3. Krisis di Yunani lahirkan 20 ribu gelandangan

Situasi akibat krisis ekonomi di Yunani (Daniel Ochoa de Olza / AP)

Kondisi Yunani sangat memprihatinkan setelah bangkrut karena tak mampu membayar utang kepada IMF sebesar Rp 5.000 triliun. Kondisi ini terlihat semakin parah saat gelandangan di Yunani semakin banyak, dan mereka sangat kelaparan.

Pendiri badan amal Emfis, Maria Karra mengatakan, Yunani telah menjadi negara dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Uni Eropa. Jumlah tunawisma atau gelandangan naik 40 persen dalam tiga bulan terakhir.

Pemerintah Yunani memperkirakan, ada sekitar 20.000 orang yang tidak punya rumah di Athena dari total 660.000 penduduk di daerah sana. Naiknya angka gelandangan di Yunani disebut sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda sejak 2010. Angka pengangguran meroket dari 10,6 persen pada 2004 menjadi 26,5 persen pada 2014.

Reporter:

Fellyanda Suci Agiesta

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya