Pemerintah Sudan Selatan Sepakat Saling Bagi Kekuasaan

Pembicaraan damai antara pemerintah dan pemberontak di Sudan Selatan, menghasilkan kesepakatan untuk berbagi kekuasaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Jul 2018, 14:33 WIB
Penggembala dari suku Dinka berdiri di kamp ternak mereka di Mingkaman, Lakes State, Sudan Selatan, Minggu (4/3). Selama musim kemarau, penggembala dari dataran tinggi akan pindah ke dataran rendah dan dekat dengan Sungai Nil. (Stefanie GLINSKI/AFP)

Liputan6.com, Juba - Para pemimpin partai yang saling bertikai di Sudan Selatan, akhirnya menyepakati perjanjian damai yang memungkinkan kedua belah pihak menyudahi perang saudara. 

Perjanjian tersebut juga memungkinkan rekonstruksi segera pada wilayah-wilayah yang terkena dampak perang saudara selama lima tahun itu. 

Dikutip dari VOA Indonesia pada Senin (9/7/2018), perjanjian tersebut menemmpatkan kembali pemimpin pemberontak Riek Machar, sebagai wakil presiden Sudan Selatan

Menteri Luar Negeri Sudan Selatan, Al-Dierdiry Ahmed, menyampaikan pada akhir pembicaraan terkait, bahwa telah disepakati penunjukan empat wakil presiden. 

Pembagiannya adalah dua wakil presiden tersumpah saat ini, ditambah dengan Riek Machar yang segera menempati wapres pertama, lalu posisi keempat akan dialokasikan untuk seorang kandidat wanita dari pihak oposisi. 

Pembicaraan damai oleh para pihak yang bertikai di Sudan Selatan itu diadakan di Uganda, dan dimediasi oleh presiden setempat Yoweri Museveni dan Presiden Sudan Omar al-Bashir.

Perjanjian itu bertujuan mengakhiri perang saudara yang pecah sejak 2013 setelah bentrokan antara Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan pemimpin pemberontak Riek Machar.

 

Simak video pilihan berikut:

 


Isu Pembagian Kekuasaan

Milisi Sudan Selatan Bakar Penduduk Hidup-Hidup hingga Tewas (AFP)

Ketidaksepahaman yang terjadi di Sudan Selatan, menurut laporan VOA Indonesia, utamanya terjadi pada isu pembagian kekuasaan di tingkat nasional, dan desakan kelompok oposisi untuk membubarkan majelis negara. 

Baik pihak pemerintah maupun pemberontak, dikabarkan juga tidak sepakat soal pengaturan keamanan, termasuk lokasi zona demiliterisasi, jangka waktu penyatuan kembali pasukan, dan rincian tentang pembentukan tentara nasional.

Meski begitu, Presiden Kiir meyakinkan publik bahwa kehadirannya di Khartoum, murni untuk melakukan kompromi.

Presiden Uganda Yuweri Museveni, yang juga berada di Khartoum untuk bantu menengahi pembicaraan itu, menggarisbawahi komitmennya bekerja dengan para pemimpin, guna menghentikan konflik di Sudan Selatan dengan segera.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya