Perang Dagang AS-China Bisa Jadi Peluang buat RI

Perang dagang AS dan China kini makin memanas. RI harus bisa memanfaatkan momentum ini.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 10 Jul 2018, 09:30 WIB
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dimulai. Ini ditandai dengan keputusan Presiden AS Donald Trump yang resmi memberikan tarif sebesar USD 34 miliar ke 818 kategori produk China pada Jumat pekan lalu. Kemudian, China merespons dengan mengenakan tarif ke produk-produk AS.

Perang dagang kini makin memanas usai Trump menegaskan akan menambah daftar produk asal Negeri Tirai Bambu yang kena bea masuk menjadi lebih dari USD 500 miliar.

Menyikapi itu, Indonesia sebaiknya tidak lantas panik serta turut dapat memanfaatkan momentum perang dagang AS-China. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan menyatakan, situasi panas kedua negara besar tersebut otomatis akan turut berimbas kepada perdagangan Indonesia.

"Mau apa pun ceritanya itu akan berdampak ke perdagangan kita. Minimal, ada trade diversion (pengalihan perdagangan)," ungkap dia di Jakarta, seperti dikutip Selasa (10/7/2018).

Meski demikian, ia menyampaikan, Indonesia harus tetap mampu mencari kesempatan dan memanfaatkan momentum dalam kondisi kisruh ini. Oke mengimbau pelaku perdagangan dalam negeri untuk dapat memanfaatkan potensi perjanjian dagang bilateral antar negara yang sudah ada. Sebagai contoh, perjanjian ASEAN-China.

"ASEAN-China itu hampir 95 persen komoditas sudah diperjanjikan. Jadi sudah banyak yang bisa kita manfaatkan. Sehingga kalau China misal menjadi kurang kebutuhan karena pasokan di situ tidak ada, kita bisa manfaatkan," terangnya.

Namun begitu, dia menekankan, perang dagang ini sejatinya berdampak merugikan bagi banyak negara dunia, termasuk Indonesia. Oleh karenanya, ia terus mendorong agar Indonesia bisa melihat opportunity yang ada.

"Ya kita pada akhirnya menyepakati kalau perang dagang itu tidak baik bagi kita, rugi bagi semuanya. Makanya kita mungkin harus melihat lebih banyak supaya dapat mengoptimalkan (momentum) dari situasi yang ada," imbau dia.


Strategi RI

Sejumlah truk peti kemas di area JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). BPS mencatat, nilai ekspor September 2016 sebesar US$ 12,51 miliar, turun 1,84% dibanding bulan sebelumnya dan turun 0,59% (yoy). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah Indonesia menyatakan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah AS terkait rencana mengenakan tarif bea masuk bagi 124 produk asal Indonesia. Namun demikian, Indonesia juga menyiapkan langkah antisipasi dari kebijakan tersebut.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pengenaan tarif bea masuk tersebut merupakan bagian dari langkah AS mengkaji ulang kebijakan Generalized System of Preference (GPS) untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. GSP yaitu fasilitas keringanan bea mausk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang.

"Sesuatu yang biasa GSP di-review. GSP tidak mencerminkan sesuatu hal dengan perdagangan Indonesia. Semua negara yang punya GSP di-review, tapi Indonesia jadi salah satu negara yang dilakukan review tahun ini," ujar dia di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Dia mengungkapkan, Indonesia hanya menempati urutan ke-17 sebagai negara mitra dagang AS. Dengan demikian, review GSP ini tidak akan berdampak signifikan bagi perdagangan kedua negara.

"Tadi kita lihat geopolitik, Indonesia di AS ranking 17 dan juga dari segi impor dan ekspor. Kami tidak melihat ini akan menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia. Kita komunikasi dan lakukan pembicaraan," kata dia.

Namun demikian, lanjut Airlangga, Indonesia tidak akan menyerah begitu saja dengan kebijakan dagang yang diterapkan AS. Menurut dia, Indonesia tetap akan mengoptimalkan ekspor produk-produk unggalan ke Negeri Paman Sam.

"Terhadap sektor yang belum dimanfaatkan pemerintah akan sosialisasi terhadap produk yang masih di dalam GSP yang bisa dimanfaatkan untuk ekspor ke AS. Ini kita akan lakukan kajian, misal prioritasnya kelapa sawit, industri tekstil dan harmonisasinya perlu diringankan. Sektor lain seperti otomotif, pembicaraan dengan Vietnam jadi prioritas. Ada beberapa prioritas yang dibahas," tandas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya