Akar Sejarah Pembuangan Benda Keramat di Desa Petronayan Boyolali

Meski terdapat sejumlah versi cerita, namun secara umum Desa Potronayan, Boyolali, tak bisa dipisahkan dari dua nama tokoh populer dalam cerita rakyat, yakni Mbah Potro dan Mbah Noyo.

Oleh SoloPos.com diperbarui 11 Jul 2018, 03:02 WIB
Balai Desa Potronayan, Boyolali. (Solopos/Aries Susanto)

Boyolali - Masyarakat Boyolali cukup mengenal Desa Potronayan. Meski demikian, tak banyak warga yang tahu sejarah dan asal-usul desa di Kecamatan Nogosari ini.

Tak banyak pula sumber dan literatur yang mengungkap asal-usul desa berpenduduk 5.600-an jiwa ini. Kepala Desa Potronayan, Sugeng, mengakui memang hanya sedikit sesepuh warga desa yang masih mengingat sejarah maupun asal usul nama Desa Potronayan.

Meski terdapat sejumlah versi cerita, namun secara umum Desa Potronayan tak bisa dipisahkan dari dua nama tokoh populer dalam cerita rakyat, yakni Mbah Potro dan Mbah Noyo.

"Bahkan, nama Desa Potronayan ini diambilkan dari nama sosok Mbah Potro dan Mbah Noyo yang menjadi cikal bakal nama desa ini," jelasnya saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu, 7 Juli 2018.

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam beberapa versi, kata Sugeng, Mbah Potro dan Mbah Noyo ini adalah pasangan suami istri. Mereka memiliki tugas membuang barang-barang pusaka dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang tak terpakai ke tanah Potronayan.

Ada pula yang menyebutkan Mbah Potro dan Mbah Noyo bertugas membuang benda-benda angker dari Keraton ke Potronayan. Jarak Keraton ke Potronayan sekitar 13-15 km. Ketika ada ruwatan di keraton, barang-barang yang sudah tak berguna dibuang ke tempat jauh dengan harapan untuk membuang sial.

"Ada yang menyebutkan Mbah Potro dan Mbah Noyo ini abdi dalem Keraton. Namun, ada yang menyebutkan mereka adalah tokoh pelestari adat setempat," jelasnya.

Lambat laun, jumlah warga di wilayah Potronayan kian bertambah. Desa yang semula sepi dan hanya menjadi tempat membuang benda-benda keramat akhirnya berkembang dan banyak penduduknya. Nama Mbah Potro dan Mbah Noyo seakan terpatri di benak warga sebagai tokoh adat setempat.

"Dari situlah, desa ini kemudian dinamakan Desa Potronayan," jelasnya.

Setelah kemerdekaan RI, Desa Potronayan terus berkembang. Tanah-tanah pertanian kian berkembang dan terkelola dengan baik karena infrastuktur seperti irigasi teknis dari Waduk Cengklik dan irigasi nonteknis telah dibangun.

"Sebagian besar warga kami bermata pencaharian sebagai petani, selain sebagai pengusaha mebel, kerajinan sepatu, dan tas," jelas kades dua periode ini.

Ketika era industrialisasi berpembang pesat di era 1980-an, warga Desa Potronayan pun mulai banyak yang berkerja di sektor industri. Mereka banyak yang mengais rezeki ke Kota Solo dan Sukoharjo di sektor industri yang jaraknya relatif masih terjangkau.

Kini, berkat kemajuan zaman, mata pencaharian warga juga ikut tergeser. Jika dahulu basis perekonomian warga adalah pertanian, sekarang basis perekonomian warga bermacam-macam, mulai usaha jasa, industri kreatif, dan sektor nonformal lainya.

"Jika dulu menggantungkan diri dari sektor pertanian saja, sekarang menjadikan sektor pertanian sebagai sampingan saja," jelasnya.

 

Baca berita menarik lainnya dari Solopos.com di sini.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya