Kisah Petani Miskin Terpaksa Jual Bongkahan Tanah Sawah di Musim Kemarau

Bagi petani sawah tadah hujan di Cilacap, Jawa Tengah, kemarau berarti paceklik panjang

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 11 Jul 2018, 13:01 WIB
Petani di Cilacap menjual bongkahan tanah sawah pada musim kemarau. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Bagi petani sawah tadah hujan di Cilacap, Jawa Tengah, kemarau berarti paceklik panjang. Sawah kering kerontang dan retak-retak, tanpa bisa ditanam apa pun.

Tahun 2018 ini, kemarau tiba lebih cepat. Pada akhir Mei lalu, hujan hanya sesekali turun. Itu pun tak sampai membasahi tanah sawah yang mengering.

Tanaman padi yang kekurangan air tak tumbuh optimal. Hasil panen pun, menurun drastis.

Akibat lainnya, usai panen, sawah tak bisa ditanami palawija, seperti yang biasa dilakukan petani. Pada kemarau, biasanya mereka mengadu nasib dengan menanam dan berharap rezeki dari bulir-bulir kedelai atau kacang hijau.

Padahal, kebutuhan hidup tak kenal musim. Entah penghujan maupun kemarau, tungku harus mengepul. Bagi petani miskin, sawah yang berhenti berproduksi adalah kiamat kecil untuk dapur mereka.

Sebagian dari mereka berusaha bertahan di masa paceklik panjang ini dengan menjual bongkahan tanah sawah yang tak produktif pada musim kemarau. Bongkahan sawah itu dijual kepada perajin batu bata.

Salah satunya, Karman (46), petani di Desa Brani Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap. Ia menjual tanahnya seharga Rp 100 ribu per truk.

Ia mengaku terpaksa menjual bongkahan tanah sawahnya lantaran tak memiliki penghasilan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Bersama sejumlah rekannya, petani miskin ini sekaligus juga memburuh bongkar muat tanah sawah.

Saksikan video kisah petani miskin terpaksa jual bongkahan tanah sawah berikut ini:


Dicekam Kekeringan, Panen Padi MT 2 2018 Turun Drastis

Panen masa Sadon, atau masa tanam kedua 2018 tak bagus. Gabah tak terisi penuh atau gabeng akibat kekurangan air. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Panen Sadon atau masa tanam kedua tahun 2018 ini tak sebaik masa tanam pertama atau Ranteban. Kurangnya suplai air menyebabkan tanaman padi kerdil. Bulir padi pun tak bernas terisi penuh.

"Dijualnya ke tukang bata. Satu truk Rp 100 ribu," ucap Karman, Senin, 9 Juli 2018.

Adapun dari memburuh bongkar muat tanah, penghasilannya Rp 70 ribu per truk, dibagi rata sekelompok pekerja. Dalam sehari, mereka berhasil memuat antara lima hingga 10 truk tanah.

Tiap kelompok jumlah anggotanya berkisar 5-7 orang. Masing-masing memperoleh pendapatan antara Rp 40 ribu hinggga 80 ribu per hari.

Ia juga berharap tanah yang dicungkil satu garpu di bagian atasnya bertambah dalam di musim tanam berikut sehingga airnya bertahan cukup lama di petak sawah. Dengan begitu, ketika menghadapi musim kemarau, tanaman padinya tak kekurangan air.

Buruknya panen padi pada masa tanam kedua tahun 2018 ini dirasakan pula oleh Rohanah, petani di Desa Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. Sepetak sawah yang biasanya menghasilkan 15 karung gabah basah kini hanya menghasilkan lima karung.

"Hanya sepertiga dari hasil panen normal," tutur Rohanah.

Pangkal soalnya sama, yakni ketiadaan irigasi teknis. Bahkan, sawah tadah hujan yang dimilikinya tak bisa diairi air dengan irigasi tetes. Jaraknya terlampau jauh dari sungai.

Ia tak yakin, gabah panen kali ini bisa mencukupi kebutuhan beras hingga musim panen berikut, sekitar Maret 2019, atau delapan bulan mendatang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya