Kesulitan Akses Data Penduduk Jadi Kendala DJP Capai Target Pajak

DJP seharusnya menjadi lembaga yang paling kuat dengan memiliki big data. Baik berupa nama, alamat, nomor telepon, KTP, KK, penghasilan dan sebagainya.

oleh Nurmayanti diperbarui 12 Jul 2018, 17:49 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mengejar target penerimaan pajak masih menuai kendala. Salah satunya sulitnya DJP mendapatkan akses Nomor Induk Kependudukan (NIK) demi kepentingan pajak.

"Bayangkan, DJP setengah mati untuk mendapatkan akses informasi E-KTP, dan NIK. Mana supporting system oleh negara. DJP tidak boleh dibiarkan sendirian dalam upaya memungut pajak," ujar Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, Kamis (12/7/2018).

Padahal, menurut dia, DJP seharusnya menjadi lembaga yang paling kuat dengan memiliki big data. Baik berupa nama, alamat, nomor telepon, KTP, KK, penghasilan dan sebagainya.

Namun, kata Misbakhun, hal itu belum sepenuhnya terwujud. "Sekarang DJP menghadapi problem administrasi, siapa yang menyelesaikan?" tanya dia.

Politikus ini menjelaskan, merujuk teori welfare state atau negara kesejahteraan maka saat ini negeri yang paling makmur di dunia bukan Amerika Serikat (AS) tapi Denmark. Hanya saja, negara di kawasan Skandinavia itu memang menerapkan pajak tinggi.

"Anda mau seperti Denmark, punya gaji Rp 100 juta, tapi diserahkan Rp 65 juta kepada negara? Anda pulang hanya bawa gaji Rp 35 juta," jelas Misbakhun.

Namun ada hal yang bisa dicontoh dari Denmark. Warga Denmark rela menyerahkan 65 pesen dari penghasilan mereka kepada negara dan tak menghadapi problem tentang nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan sebagainya.

Karena itu Misbakhun juga mengajak masyarakat lebih sadar akan pajak. Menurutnya, memperkuat DJP merupakan ikhtiar penting untuk membuat Indonesia makin kuat.

"Kalau Anda mengakui kemerdekaan Indonesia dan sadar bahwa kedaulatan negara ini diraih dengan perjuangan, maka kita juga akan berjuang bagaimana membuat negara ini berdaulat dengan membayar pajak. Negara ini tidak akan terhormat kalau Anda masih berutang. DJP kuat, negara kuat, Indonesia berdaulat," tukas Misbakhun.


Hingga Semester I, Penerimaan Pajak Capai Rp 581,54 Triliun

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan total penerimaan pajak pada semester I 2018 mencapai Rp 581,54 triliun. Angka ini sekitar 40,84 persen dari target tahun ini yang sebesar Rp 1.424 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan, capaian penerimaan pajak ini tumbuh 13,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.‎

"Penerimaan pajak sampai semester I Rp 581,54 triliun. Itu berasal dari PPh nonmigas, PPN, PPnBM, Pph migas‎. Ini tumbuh 13,9 persen dan sudah 40,84 persen dari target," ujar dia di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (10/7/2018).

Sementara itu, Direktur Potensi dan Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal mengungkapkan, penerimaan dari PPh pasal 21 atau pajak orang pribadi karyawan tumbuh 22,23 persen, PPh pasal 22 impor tumbuh 28 persen. Kemudian PPh badan tumbuh 23,9 persen, PPh orang pribadi 20,06 persen dan PPN impor tumbuh 24,29 persen.

‎"PPh 21 sudah Rp 67,9 triliun, tumbuh 22,32 persen, tahun lalu tumbuh minus 4 persen. PPh 22 impor Rp 27,02 triliun, tumbuh 28 persen, tahun lalu 11,35 persen. PPh orang pribadi nilainya Rp 6,98 triliun tumbuh 20,06 persen, tahun lalu 56,3 persen.," jelas dia.

"PPh badan Rp 119,9 triliun tumbuh 23,79 persen, tahun lalu 12 persen.‎ PPN dalam negeri Rp 127,18 triliun, tumbuh 9,1 persen, tahun lalu 14 persen‎. PPN impor Rp 83,86 triliun, tumbuh 24,29 persen, tahun lalu 14,25 persen," imbuh dia.

Sementara jika dilihat dari sektor, pertumbuhan terbesar dari sektor pertambangan yang tumbuh sebesar  79,71 persen. Kemudian sektor pertanian 34,25 persen, perdagangan 27,91 persen dan industri pengolahan 12,64 persen.

"Target pertumbuhan kita 23 persen, sekarang sudah 14 persen.‎ Dengan non tax amnesty sekarang 17 persen," tandas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya