Sinyal Cawapres Nonparpol Jokowi

Di tengah manuver petinggi parpol koalisi, PDIP meminta para pemimpin partai tidak kecewa jika tak terpilih jadi cawapres Jokowi. Sinyal pilih nonpartai?

oleh Muhammad Ali diperbarui 13 Jul 2018, 00:03 WIB
Presiden Joko Widodo . (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Partai pendukung Jokowi terus menggodok nama-nama yang bakal bersanding dengan sang petahana dalam Pilpres 2019 mendatang. Dalam nama yang beredar, ada sepuluh orang yang santer disebut bakal menjadi cawapres Jokowi.

Mereka di antaranya adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Rais 'Aam PBNU Ma'ruf Amin, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Mahfud MD.

Ada juga nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, dan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi.

Namun begitu, dari sepuluh nama yang tersiar itu kini telah disaring Jokowi. "Sepuluh mengerucut kelima," ungkap Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu 11 Juli 2018.

Saat ditanya lebih jauh, Jokowi enggan mengutarakan tentang profil dari nama cawapres tersebut. Dia hanya mengungkapkan bahwa semua unsur masuk dalam radarnya.

"Bisa partai, bisa nonpartai, bisa profesional, bisa sipil, bisa TNI, Polri. Semuanya bisa," ucap Jokowi sembari tersenyum.

Dalam Pilpres 2019 nanti, calon petahana Jokowi disokong 7 partai politik. Partai itu adalah PDIP, Partai Hanura, Partai Golkar, PPP, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, dan PKPI.

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, peluang tokoh dari parpol maupun nonparpol memiliki peluang yang sama besar dipilih sebagai cawapres Jokowi. Sebab, masing-masing dari calon itu tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.

Fungsi dan Kewenangan BNN Jadi Pembahasan Panja RUU Narkotika

"Saya kira sama besarnya atau sama kecilnya antara partai politik dan nonpartai politik. Meskipun tentu ada pihak-pihak berkepentingan di luar sesuai dengan kepentingannya," kata di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 11 Juli 2018.

Dia mengungkapkan, Jokowi akan bertemu dengan ketua umum partai untuk memfinalisasi nama cawapresnya.

"Intinya akan segera difinalkan soal komposisi dari partai koalisi baik bertambah atau tidak bertambah dari yang sudah ada, lima parpol yang ada di parlemen, bertambah atau tidak itu akan segera difinalkan," ujar dia.

Anggota Komisi III DPR ini juga menegaskan, cawapres Jokowi tidak akan jauh dari nama-nama yang sering beredar di media massa. Meskipun penentuan cawapres juga dipengaruhi faktor-faktor eksternal di luar koalisi

 


Sinyal Cawapres Nonparpol

Presiden Jokowi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Jokowi masih menutup rapat nama-nama cawapres yang telah dikantonginya. Pada saatnya, nama pendamping calon petahana itu bakal diumumkan saat cuaca cerah.

Seiring dengan hal tersebut, para petinggi parpol koalisi terus melakukan manuver-manuver. Mereka terus melakukan komunikasi dan optimistis kalau namanya masuk dalam list daftar tersebut.

Namun begitu, Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira berharap partai koalisi tidak kecewa jika Ketua Umumnya tak terpilih sebagai cawapres Presiden Jokowi. Sebab pemilihan salah satu cawapres adalah hal yang lumrah.

"Ya kalau kita berharap tidak akan ada yang kecewa karena ini bagaimana pun dalam rangka pencapresan itu juga dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan pemilihan presiden dan menegakkan demokrasi demi kepentingan bangsa dan negara," kata Andreas di Kompleks Parlemen, Senayam, Jakarta, Kamis (12/7/2018).

Menurut dia, banyak orang yang ingin duduk bersanding dengan Jokowi dalam Pilpres 2019. Namun begitu, keputusan itu akan dipilih Jokowi dan tentunya tidak memuaskan semua pihak.

"Menentukan satu calon wakil presiden ini suatu keharusan dari berbagai macam atau berbagai orang yang berminat untuk menjadi calon wakil presiden. Saya kira suatu proses yang biasa sekali bahwa mungkin tidak ada yang puas. Kita tidak bisa memuaskan semua orang," ungkap dia.

Cawapres Jokowi, lanjut Andreas, juga dipilih melalui beberapa pertimbangan yang sangat detail dan objektif. Dia menegaskan, cawapres ini juga akan memenuhi keinginan semua partai pedukung Mantan Gubernur DKI Jakarta itu di pilpres mendatang.

"Ya untuk itulah memang dalam melakukan recruitment sampai pada keputusan nanti itu dilakukan dengan berbagai macam pertimbangan dan sangat hati-hati tapi tetap objektif, sehingga kemudian ini juga akan apa menjaga soliditas partai," ucapnya.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memberi pernyataan saat menerima kedatangan Bawaslu di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (11/7). Bawaslu melakukan sosialisasi pengawasan pencalonan Pileg dan Pilpres. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto meyakini koalisi pendukung Joko Widodo atau Jokowi tetap solid, meski ketua umumnya tidak diambil sebagai calon wakil presiden (cawapres). Hasto mengatakan optimisme itu berdasarkan pengalaman Pilpres 2014 ketika Jusuf Kalla terpilih sebagai pendamping Jokowi.

"Waktu mencalonkan Pak JK muncul begitu banyak calon. Calon yang dipersandingkan dengan Bapak Jokowi waktu itu akhirnya semua rela dengan keputusan Pak Jokowi dan Pak JK sebagai capres-cawapres," kata Hasto di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu 11 Juli 2018.

"Itulah yang jadi bekal optimisme bahwa mereka yang sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi ini akan selalu bersama-sama untuk kepentingan bangsa dan negara," lanjut dia.

 


Minimalisir Kecemburuan

Presiden Jokowi memberi pidato saat merayakan Hari Musik Nasional 2017 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/3). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Polcomm Institute Heri Budianto menilai figur nonpartai politik dinilai lebih berpeluang menjadi pendamping Jokowi di Pilpres 2019. Sebab, itu akan meminimalisir kecemburuan antarpartai pendukung.

"Karena partai pengusung banyak, jadi kalau memilih cawapres dari satu parpol pasti akan menimbulkan kecemburuan," kata Direktur Polcomm Institute Heri Budianto di Jakarta, dilansir Antara, Kamis (5/7/2018).

Dia menambahkan, sosok kandidat cawapres pendamping Jokowi lebih baik dari kalangan profesional. Itu akan menjadi jalan tengah bagi partai politik pendukung.

Pendapat yang sama diutarakan Anggota Dewan Pakar Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi. Dia menilai idealnya cawapres Jokowi tak berasal dari kalangan partai politik.

"Itu lebih baik untuk menjaga soliditas koalisi," kata Taufiqulhadi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 11 Juli 2018.

Ia menyarankan, sebaiknya partai koalisi Jokowi menahan diri untuk menyodorkan ketua umumnya menjadi cawapres. Dia memperkirakan, cawapres yang berasal dari partai politik akan menimbulkan riak di tubuh koalisi partai pendukung Jokowi.

"Nanti ada yang merasa lebih banyak yang mengambil keuntungan di dalam sebuah situasi tertentu," ungkapnya.

"Saya berpikir, jangan ada hasrat berlebihan menempatkan kader menjadi wakil dari parpol untuk menjadi cawapres," lanjutnya.

Anggota Komisi III DPR ini juga yakin, tanpa menjadikan kader partai sebagai cawapres, baik Jokowi atau partai pendukung akan mendapatkan efek ekor jas (coattail effect) di Pemilu 2019.

Coattail effect itu, kata dia, bisa didapatkan secara bersama-sama dengan partai koalisi Jokowi lainnya.

"Akan kita dapatkan bersama-sama. Tapi kalau coattail effect itu kalau hanya didapatkan satu partai saja, lantas partai lain akan dapat apa? Kan Seperi itu," ucapnya.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya