Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan selalu memantau pergerakan credit default swap (CDS) atau persepsi risiko investasi. Ini karena berkaitan dengan imbal hasil atau yield surat berharga negara (SBN).
Hal itu disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti lewat akun facebooknya Nufransa Wira Sakti, seperti dikutip Minggu (15/7/2018).
Nufransa menuturkan, CDS menunjukkan pandangan pasar keuangan terhadap risiko kredit suatu entitas yang terbagi dalam jangka waktu (tenor) tertentu. Makin tinggi CDS, makin tinggi risiko kredit entitas itu.
Baca Juga
Advertisement
"Sejak awal 2018 hingga 11 Juli 2018, CDS Indonesia untuk tenor 10 tahun telah meningkat 57 basis poin menjadi 211,16 bps. Sementara itu untuk tenor lima tahun meningkat 41,52 bps menjadi 126,52 bps," tulis dia.
Ia menilai, kondisi CDS tenor 10 tahun saat ini masih lebih rendah dibandingkan kondisi akhir 2016 sebesar 225,33 bps. Ini juga berlaku untuk CDS tenor lima tahun di akhir 2016 sebesar 157,55 bps. "Perubahan CDS Indonesia selama tahun ini masih dalam batas aman," kata dia.
Ia menyebutkan, jika dibandingkan dengan saat krisis keuangan global 2008, CDS Indonesia tertinggi mencapai 1295 bps untuk tenor 10 tahun. Sedangkan tenor lima tahun 1256,7 bps. Kemudian jika dibandingkan lagi dengan negara peers lain, kondisi CDS tenor 10 tahun Indonesia per 11 Juli 2018, menurut Nufransa masih relatif baik. Ini kalau melihat negara lain Turki sebesar 397,92 bps, Brazil 356,53 bps dan Vietnam sebesar 227,53 bps.
"Pemerintah senantiasa memantau pergerakan CDS karena erat kaitannya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN). Dalam kondisi saat ini, di mana investor dan pelaku pasar masih wait and see atas perubahan kondisi perekonomian yang menuju keseimbangan baru, perilaku pelaku pasar cenderung mixed," kata dia.
Nufransa menuturkan, dalam seminggu terakhir, CDS Indonesia malah menurun masing-masing 6 bps dan 11 bps untuk masing-masing tenor lima dan 10 tahun. "Ini karena seiring menurunnya yield SBN kita,” ujar dia.
Ia juga menjelaskan soal external vulnerability indicator (EVI). EVI merupakan indikator yang menunjukkan kerentanan suatu negara ditinjau dari rasio utang luar negeri jangka pendek, utang luar negeri jangka panjang yang akan jatuh tempo dan deposito asing selama setahun terhadap cadangan devisa. Indikator ini dikeluarkan setahun sekali.
Prediksi indikator untuk tahun 2018 yang dipublikasikan oleh lembaga rating Moody’s berdasarkan wawancaranya di Bloomberg menyebutkan EVI Indonesia untuk tahun 2018 berada pada 51,3 persen, sementara India 74,2 persen dan Malaysia 145,6 persen.
"Kondisi EVI Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini berkisar antara 50,9 persen (2003) hingga 71,1 persen (2010). Sebagai gambaran, EVI Indonesia tiga tahun terakhir adalah tahun 61,7 persen (2014), 58,8 persen (2015), 52,5 persen (2016), dan 50,3 persen (2017). Dapat dilihat bahwa terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, mencerminkan kondisi Indonesia yang masih cukup aman,” kata dia.
Ini Tantangan Ekonomi RI pada Semester II 2018
Sebelumnya, Indonesia akan menghadapi banyak tantangan di paruh kedua tahun ini. Selain lantaran akan adanya pemilihan umum (pemilu) di tahun depan, pelemahan nilai tukar rupiah dan naiknya harga minyak mentah dinilai akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pelemahan rupiah yang masih terus berlanjut menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di tahun ini. Selain itu, pelemahan ini juga dikhawatirkan berdampak pada inflasi yang selama ini masih terjaga rendah.
"Pelemahan rupiah ini, lebih tinggi dari interest rate. Ini membuat pertumbuhan kita melambat, inflasi naik," ujar dia di Jakarta, Kamis 5 Juli 2018.
Selain itu, jelang menghadapi pelaksanaan pemilu di tahun depan, lanjut dia, pemerintah mau tidak mau akan mengeluarkan kebijakan yang populer dan merakyat. Salah satunya soal subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan ditambah karena harga minyak dunia yang terus meningkat.
"Karena ada ada pemilu pasti semua melakukan polulist policy. Ini defisit kita meningkat, karena subsidi ditambah, karena harga minyak naik," kata dia.
Sementara, kinerja ekspor Indonesia juga belum mengalami perbaikan sejak awal tahun. Buktinya, neraca perdagangan Indonesia sejak awal tahun terus mengalami defisit, kecuali pada Maret yang mengalami suplus USD 1 miliar.
"Kita selalu ada kelebihan di trade tapi sekarang kita defisit, belum ditambah defisit dari services industry. Itu yang akan berakibat pada masalah, APBN kita defisit, trade kita defisit, ini menimbulkan ketidakpastian," tandas dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement