Liputan6.com, Jakarta Aksi penyelamatan heroik 12 bocah di Thailand mengingatkan kita tentang bahaya dan risiko penjelajahan gua. Meski sering didaulat sebagai disiplin olahraga yang menuntut keahlian jelajah alam tingkat tinggi, selusur gua belakangan malah kian populer di kalangan anak muda Indonesia.
Advertisement
Kepada Deutsche Welle, Ketua Umum Masyarakat Speleologi Indonesia, Cahyo Rahmadi, menjabarkan kenapa manusia tidak dilahirkan untuk menjelajahi gua dan bagaimana kiat menghadapi situasi pelik di perut Bumi. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan Rizki Nugraha:
DW: Mengingat risiko dan kondisi alam yang tidak ramah kehidupan, sebenarnya apa yang menarik dari kegiatan jelajah gua?
Cahyo Rahmadi: Mungkin karena kondisi gua yang tidak natural buat kita sebagai manusia. Gua kan memang bukan buat kita tinggali, kecuali mulut gua. Karena kegelapan total sepanjang masa, kelembapan yang sangat tinggi, suhu yang mungkin dingin dan kondisi lingkungan yang bisa berair deras. Kondisi hidup di gua memang bukan buat manusia. Kalau berdiam di dalam gua untuk jangka waktu yang lama, kita misalnya bisa terkena paru-paru basah. Jadi kalau dari sisi tantangan ada banyak yang bisa didapat, terutama pengalaman. Apalagi kalau guanya belum pernah dijelajah sebelumnya. Dari sudut ilmu pengetahuan kita bisa membantu memetakan, mendata dan menginventarisasi semua yang kita temukan di dalam gua itu. Tapi buat seorang petualang , menemukan gua yang sangat panjang mungkin menjadi pencapaian yang luar biasa. Jadi tantangan inilah yang mendorong orang buat masuk ke gua.
Apa risikonya sepadan?
Risikonya ya pasti tidak sepadan, karena kegiatan penelusuran gua termasuk berisiko tinggi. Makanya ketika kita mau berkegiatan di gua, kita tidak hanya harus memahami kelengkapan alat, tetapi juga berbagai kemampuan dan ilmu buat meminimalisir risiko yang ada.
Kemampuan apa saja yang disyaratkan harus dimiliki penjelajah gua?
Kita misalnya dituntut memiliki kemampuan hiking, atau juga kemampuan memanjat tebing, berenang dan juga penyelaman gua. Buat saya penelusuran gua menuntut hampir semua displin ilmu jelajah alam. Paling tidak bisa memanjat lorong yang tinggi atau menelusuri sungai bawah tanah. Selain itu kita juga harus punya kemampuan orientasi medan. Karena untuk mencapai mulut gua saja sudah harus mendaki dulu.
Bagaimana dengan kesiapan mental buat menghadapi misalnya situasi darurat?
Kesiapan mental dan fisik memang harus menjadi yang utama. Karena kalau kita kuat secara fisik, tetapi lemah secara mental, ya kita akhirnya akan mudah panik. Sebaliknya sama juga, kalau mental kuat tapi fisik lemah kita akan mudah kelelahan dan lalu menjadi ceroboh. Dan kecerobohan inilah yang berpotensi menimbulkan kecelakaan, jatuh karena memasang tali tidak benar atau kehilangan orientasi. Itulah yang akhirnya membuat kita mendapat kesulitan.
Yang menjadi kata kunci, terutama ketika rekan seperjalanan mengalami kecelakaan, adalah tetap bersikap tenang. Apa Anda pernah mengalaminya?
Saya pernah mengalami kebanjiran. Jadi waktu itu kami mengalami ketidaktahuan seberapa banyak jumlah air yang akan datang dan apakah bisa selamat. Di masa-masa itulah kita harus bisa meletakkan emosi kita ke dalam posisi yang paling stabil dan tetap tenang. Karena kalau kita panik, ilmu yang kita punya itu hilang semua. Saya juga pernah berada di dalam situasi di mana saya harus menyelamatkan teman yang terjatuh dan mengalami patah leher. Ketika saya turun dan mendengar suara orang mengerang kesakitan di kedalaman, mental saya jatuh dengan sendirinya. Pada saat seperti itu kita harus bisa menghibur diri dengan hal yang bisa mengendalikan emosi dan mengusir rasa panik.
Seberapa penting pemetaan gua untuk keselamatan atau pelestarian biota lokal?
Sangat penting. Karena kalau kita belajar dari kondisi di Thailand saja misalnya, kalau tidak ada peta gua-nya, kita tidak akan pernah bisa membayangkan adanya lorong yang sempit dengan ketinggian 40 sentimeter misalnya, untuk membuat skenario penyelamatan menjadi lebih mudah. Itu salah satu pentingnya keberadaan peta gua. Kalau konteksnya konservasi biota gua, jika ada peta saya tinggal menandai lokasi spesies-spesies yang penting. Selain itu jika kita mengetahui struktur kelorongan gua, kita bisa memprediksi di mana lokasi yang tidak boleh dilakukan aktivitas karena berpotensi merusak, misalnya pertambangan.
Sebenarnya bagaimana aktivitas manusia sendiri bisa berdampak pada ekosistem gua?
Karena kita secara alami hidup di dalam gua, berarti secara tidak sadar kita sudah menjadi bagian dari komponen yang mengganggu keseimbangan atau kemurnian gua. Kita tidak seharusnya berada di dalam gua. Karbondioksida yang kita lepaskan tidak seharusnya mengubah susunan atmosfir di dalam gua. Nah sekarang tinggal bagaimana kita mengurangi dampak aktivitas manusia semaksimal mungkin. Kecuali untuk kepentingan sains. Dalam hal ini saya harus mendokumentasikan atau mengambil sampel untuk didata dan dipelajari. Tapi kalau kita sekedar bersenang-senang dan mengambil hewan yang hidup di dalam, nah itu kita sudah menjadi bagian yang merusak ekosistem gua.
Tidak jarang upaya konservasi melibatkan sektor pariwisata. Tapi bagaimana kegiatan pariwisata gua bisa digalakkan tanpa merusak ekosistem lokal?
Pengembangan gua sebagai tujuan wisata harus dimulai dari hulu hingga ke hilir. Tidak hanya kita bicara mengenai guanya saja, tetapi juga instrumen sebagai bagian dari wisata gua, baik SDM, infrastruktur dan rencana jangka panjang buat mengurangi dampak aktivitas manusia. Misalnya ketika sebuah gua dibuka untuk tujuan wisata, kita harus tahu kondisi alami gua tersebut, mulai dari temperatur, kelembapan udara hingga kadar Co2. Kita juga harus mendata semua biota yang hidup di dalamnya. Sehingga dalam proses perencanaan kita sudah tahu apakah areanya bisa dibuka atau malah harus ditutup. Kalau kita tidak punya data dan informasi tersebut, kita hanya akan mempercepat laju kepunahan spesies yang hidup di dalam gua.
Cahyo Rahmadi adalah ketua umum Masyarakat Speleologi Indonesia (ISS). Ia terutama aktif di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk bidang penelitian Biologi, Zoologi dan Biosistematik Invertebrata.