Pelaku Judi Piala Dunia Berbasis Cryptocurrency Dibekuk Polisi

Pemerintah Tiongkok secara bertahap memang mulai melarang transaksi berbasis cryptocurrency.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 16 Jul 2018, 16:00 WIB
Striker timnas Prancis, Olivier Giroud mengangkat trofi Piala Dunia 2018 saat merayakan gelar juara setelah mengalahkan Kroasia pada laga final di Luzhniki Stadium, Minggu (15/7). Prancis membekuk Kroasia dengan skor akhir 4-2. (AP Photo/Martin Meissner)

Liputan6.com, Beijing - Otoritas Tiongkok dilaporkan telah menangkap enam pelaku di balik aksi judi ilegal Piala Dunia 2018.

Aksi itu dianggap ilegal karena para pelaku memanfaatkan cryptocurrency yang tidak diatur oleh pemerintah Tiongkok.

Dari laporan South China Morning Post, Senin (16/7/2018), para pelaku berhasil mengumpulkan 10 juta yuan atau sekitar Rp 21 miliar dalam bentuk cryptocurrency.

Platform ini juga berjalan di dark web, sehingga tidak dapat diakses melalui mesin pencari biasa.

Usai penangkapan, kepolisian setempat segera membekukan aset para pelaku di bank dan menyita seluruh mata uang virtual yang terkumpul.

Kepolisian setempat menyebut selama delapan bulan terakhir, para pelaku berhasil menjaring 330 ribu pengguna terdaftar dari sejumlah negara.

"Para pelaku juga mengakali termasuk memanipulasi peluang para anggota, sehingga kemungkinan kecil para peserta untuk dapat memenangkan taruhan," tutur pihak kepolisian.

Tak hanya itu, mereka juga membangun tim yang terdiri lebih dari delapan ribu agen.

Mereka bertugas untuk mencari anggota baru dengan memanfaatkan skema piramida dan akan mendapatkan komisi bila berhasil merekrut anggota baru.

Sekadar informasi, pemerintah Tiongkok sejak September tahun lalu memang sudah menutup transaksi cryptocurrency di negara tersebut. Kegiatan initial coining offerings telah dilarang, termasuk penggalangan dana berbasis cryptocurrency.


Tiongkok Bakal Tutup Aktivitas Penambangan Bitcoin

Ilustrasi Bitcoin (iStockPhoto)

Awal tahun ini, kiprah penambang bitcoin di Tiongkok memang disebut akan segera berakhir.

Alasannya, regulator negara tersebut dilaporkan tengah meminta para pemerintah daerah agar menutup aksi penambangan bitcoin di wilayahnya.

Berdasarkan bocoran dokumen yang dilaporkan Bloomberg dan Reuters, Tiongkok juga berencana membatasi pasokan listrik ke pelaku penambang bitcoin. Di Tiongkok, diketahui memang ada perusahaan yang menjalankan aksi penambangan bitcoin.

Keberadaan mereka dianggap bermasalah, karena konsumsi listrik yang dibutuhkan para pelaku tersebut begitu besar. Padahal, pemerintah sedang berupaya mendistribusikan listrik lebih merata ke sejumlah daerah.

Penambangan itu juga menghasilkan saham spekulatif yang dikenal sebagai virtual currencies sehingga dianggap terlalu berisiko. 

Dalam dokumen itu juga disebutkan agar pemerintah daerah mengajak penambang bitcoin untuk keluar dari bisnisnya. Mereka juga diminta untuk melaporkan informasi terkait fasilitas penambangan bitcoinyang berada di wilayahnya, termasuk jumlah pelaku yang sudah keluar.

Dikutip dari Quartz, Selasa (9/1/2018), salah seorang pegawai pemerintah telah mengonfirmasi kebenaran dari dokumen tersebut. Menurutnya, keputusan untuk pembatasan penambangan bitcoin ini dibuat dalam pertemuan yang digelar November tahun lalu.

Sejumlah pihak juga menyebut, peraturan ini keluar menyusul keputusan bank sentral Tiongkok untuk menutup operasi pasar bitcoin di negara tersebut pada September 2017. Langkah itu dipilih karena mata uang virtual tersebut dianggap berisiko dan spekulatif.

Sekadar informasi, Tiongkok diketahui telah menyumbangkan lebih dari dua pertiga penambangan bitcoin di seluruh dunia. Negara itu dikenal memiliki pabrik penambang bitcoin berskala besar. 

Sejumlah penambang besar juga dilaporkan telah memindahkan aktivitasnya ke luar negeri, seperti Kanada dan Amerika Serikat. Namun, belum dapat dipastikan apakah regulasi ini akan efektif mengurangi penambangan bitcoin. 


Tak Hanya Terjadi di Tiongkok

Ilustrasi Bitcoin (iStockPhoto)

Pembatasan terhadap aktivitas bitcoin juga dilakukan oleh regulator Korea Selatan. Hal ini diketahui setelah regulator di negara tersebut melakukan inspeksi gabungan terhadap enam bank lokal yang menawarkan rekening mata uang virtual di berbagai lembaga.

Penggunaan mata uang virtual seperti bitcoin yang kian meningkat dikhawatirkan dapat menyebabkan lonjakan kejahatan. Dilansir Reuters, penyelidikan gabungan ini dilakukan oleh Financial Services Commision (FSC) dan Financial Supervisory Services (FSS).

Chairman FSC, Choi Jong-ku, dalam keterangan resmi mengatakan kedua regulator akan memeriksa apakah bank-bank tersebut mematuhi regulasi antipencucian uang dan penggunan nama asli untuk membuat rekening.

"Mata uang virtual saat ini tidak berfungsi sebagai alat pembayaran dan digunakan untuk tujuan ilegal seperti pencucian uang, penipuan, dan aktivitas investor yang tidak benar," ucap Choi.

Enam bank yang diselidiki adalah H Bank, Industrial Bank of Korea, Shinhan Bank, Kookmin Bank, Woori Bank, dan Korea Development Bank. Perwakilan NH Bank dan Shinhan Bank menolak berkomentar, sedangkan sisanya belum bisa dihubungi.

Dijelaskan Choi, regulator akan mencari cara untuk mengurangi risiko terkait perdagangan cryptocurrency tersebut di Korsel. Langkah ini akan termasuk menutup berbagai lembaga atau perusahaan yang menggunakan mata uang tersebut.

(Dam/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya