Kesepakatan RI-Freeport Tuai Kritikan, Begini Reaksi Jokowi

Jokowi mengakui, penandatanganan HoA Inalum dengan Freeport McMoRan baru tahap awal. Masih ada tahap-tahap selanjutnya untuk mencapai kesepakatan akuisisi saham 51 persen PT Freeport Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jul 2018, 13:45 WIB
Presiden Joko Widodo. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan penandatanganan Head of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan induk PT Freeport Indonesia, Freeport McMoRan inc untuk mengakuisisi saham 51 persen seharusnya disyukuri seluruh rakyat Indonesia. Bukan sebaliknya, usaha pemerintah itu justru ditanggapi dengan hal kontra.

"Kalau kemajuan Alhamdulillah patut kita syukuri. Jangan malah sudah ada kemajuan dibilang miring-miring," ujar Jokowi usai memberikan kuliah umum di Gedung ABN Nasdem, Pancoran, Jakarta, Senin (16/7/2018).

Jokowi mengakui, penandatanganan HoA Inalum dengan Freeport McMoRan baru tahap awal. Masih ada tahap-tahap selanjutnya untuk mencapai kesepakatan akuisisi saham 51 persen PT Freeport Indonesia.

Namun, pencapaian ini tidak mudah. Jokowi menyebut, membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun untuk melakukan negosiasi penandatangan HoA tersebut.

"Kesepakatan itu perlu saya sampaikan ya ini proses panjang hampir 3,5-4 tahun kita lakukan dan alot sekali. Kalau sudah bisa masuk ke HoA sebuah kemajuan yang amat sangat. Jangan dipikir itu ketemu baru tandatangan, ini proses panjang 3,5 tahun dengan Freeport," jelas dia.

Seperti diketahui, langkah pemerintah 'merebut' kembali Freeport mendapat tanggapan beragam dari pelbagai pihak. Ada yang menyebut, upaya itu merupakan pencitraan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Pencitraan yang dilakukan oleh oknum pemerintah sangat kelewatan. Sangat membodohi rakyat. Saking berhasilnya, tidak sedikit yang menulis 'terima kasih Pak Jokowi' tanpa melakukan fact-check. Sampai-sampai seorang mahasiswa Indonesia di Inggris pun melakukan kebodohan yang sama," kata Ekonom Dradjad Wibowo.

"Saya mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport Indonesia. Yang saya kritisi adalah pencitraan dan pembodohan rakyat yang kelewatan," sambung dia.

Dradjad menyebut, sebetulnya belum ada kesepakatan mengikat akuisisi saham 51 persen PT Freeport Indonesia. Yang terjadi saat ini hanya sebatas HoA. Menurut Dradjad participating interest Rio Tinto di Freeport Indonesia harus dibayar USD 3,5 miliar.

"Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX (Freeport McMoran) ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang," kata dia.


Kuasai Freeport, Kenapa RI Harus Bayar US$ 3,85 Miliar?

Freeport Indonesia (AFP Photo)

PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan  McMoran Inc telah meneken pokok-pokok kesepakatan divestasi atau Head of Agreement (HoA) saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dalam kesepakatan ini Inalum akan menguasai 41,64 persen PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51 persen kepemilikan saham oleh pihak nasional.

Proses yang akan dilakukan, Inalum mengeluarkan dana sebesar USD 3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi dari Rio Tinto di Freeport Indonesia dan 100 persen saham Freeport McMoran di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di Freport Indonesia.

Ada banyak isu dan komentar menyusul penandatanganan HoA tersebut. Salah satu isu yang paling banyak dipertanyakan publik yaitu mengenai mengapa pemerintah tidak menunggu kontrak Freeport habis 2021 sehingga untuk menguasai tambang Grasberg di Mimika, Papua, Inalum tidak perlu merogoh kocek atau gratis.

Lalu apakah benar setelah kontrak Freeport habis 2021, pemerintah tidak perlu membayar untuk menguasai tambang emas terbesar di dunia tersebut?

Head of Corporate Communication and Goverment Relation Inalum Rendy Witoelar angkat bicara untuk menjawab pertanyaan publik tersebut. Menurut dia, Freeport Indonesia mempunyai interpretasi KK yang berbeda dengan pemerintah. PTFI mengakui kalau KK akan berakhir pada 2021, namun mereka beranggapan berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar.

Pasal 31 ayat 2 KK: Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yg tercantum, persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun sejak tanggal penandatanganan persetujuan ini dengan ketentuan bahwa perusahaan akan diberi hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun atas jangka waktu tersebut secara berturut- turut, dengan syarat disetujui pemerintah. Pemerintan tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar. 

Permohonan tersebut dari perusahaan dapat diajukan setiap saat selama jangka waktu persetujuan ini, termasuk setiap perpanjangan sebelumnya.

Rendy menjelaskan, berakhir atau tidaknya pada 2011 akan tetap menjadi perdebatan karena FCX menafsirkan harus adanya perpanjangan KK hingga 2041. Perdebatan ini akan berpotensi berakhir di arbitrase dan tidak ada jaminan 100 persen Indonesia akan menang.

"Jika pun FCX legowo hengkang setelah 2021, kita tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis," tegas dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Minggu (15/7/2018).

Jadi mau diambilalih sekarang atau menunggu kontrak habis, pemerintah tetap harus membayar ke Freeport jika ingin menguasai tambang emas terbesar di dunia tersebut.

Hal ini berdasarkan KK Pasal 22 ayat 1: Sesudah pengakhiran persetujuan berdasarkan pasal 22 ini atau pengakhiran persetujuan ini karena alasan berakhirnya jangka waktu persetujuan ini, semua kekayaan kontrak karya milik perusahaan yang bergerak atau tidak bergerak, yang terdapat di wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar, yang mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku.

"Jadi pemerintah harus membeli seluruh kekayaan Freeport Indonesia yang bergerak maupun dengan nilai tidak lebih rendah dari book value. Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan audited mereka ada di sekitar US$ 6 miliar. Pemerintah pun wajib membeli pembangkit listrik yang di area tersebut senilai lebih dari Rp 2 triliun," jelasnya.

 Tonton Video Menarik Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya