Aturan Daerah Jangan Hambat Pertumbuhan Industri Rokok

Rokok itu tidak masuk kategori bahan terlarang sehingga perlakuannya pun harus sewajarnya.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Jul 2018, 16:28 WIB
Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi VI DPR RI meminta pemerintah daerah (pemda) untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dengan begitu, penetapan KTR ini tidak mengganggu pertumbuhan industri rokok nasional.

Anggota Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan, penyusunan Peraturan Daerah (Perda) terkait KTR harus memperhatikan berbagai hal. Selain masalah kesehatan, keberlangsungan industri rokok juga harus menjadi pertimbangan karena menyangkut masalah tenaga kerja.

"Aspek pendapatan negara, perburuhan, kesehatan, aspek industri, aspek perkebunan dan lain-lain, jadi semua aspek harus menjadi pertimbangan dibuatnya peraturan tersebut,” ujar dia di Jakarta, Selasa (17/7/2018).

Terlebih, lanjut dia, rokok itu tidak masuk kategori bahan terlarang sehingga perlakuannya pun harus sewajarnya. Namun memang perlu ada pengendalian di dalamnya yang telah dilakukan pemerintah melalui pengenaan cukai.

"Harusnya Perda cukup pada pengaturan. Karena, hingga saat ini tak ada UU yang melarang rokok,” kata dia.

Sementara itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Yudha Prawira juga menyampaikan keberatannya terkait dengan Perda KTR, salah satunya yang diterapkan di Kota Bogor. Menurut dia, aturan terkait KTR ini cukup membatasi konsumsi rokok, bukan melarangnya.

"Ketentuan peraturan yang ada kan hanya membatasi, misalnya tidak boleh di jalan protokol, kawasan pendidikan, tempat ibadah, dan lain-lain. Program pemerintah pusat kan membuat iklim usaha yang baik. Bila membuat aturan pelarangan, harus muncul dari pemerintah pusat. Itu pun setelah melakukan kajian komprehensif seperti kesehatan, bisnis, dan masih banyak lagi,” tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ribuan Pekerja Pelinting Rokok Masih Menganggur

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Penutupan pabrik pengolahan tembakau berdampak kepada pemecatan pekerja. Hingga kini, puluhan ribu pelinting rokok belum mendapatkan lapangan kerja baru.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM), Sudarto mengatakan, para pelinting rokok pun sulit bersaing jika harus beralih ke lapangan pekerjaan baru. Itu karena mereka memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas.

Para pekerja pun sulit bila harus pindah kerja ke sektor lain atau bersaing dengan pencari kerja di sektor lain. "Negara perlu hadir untuk mereka," jelas dia melalui keterangannya, Sbatu (7/7/2018).

Dalam rentang 2006-2016, sedikitnya 3.100 pabrik tutup dan 32.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagian besar dari mereka adalah pelinting. Sebab, hampir seluruh pabrik yang ditutup merupakan pabrik sigaret kretek tangan (SKT).

Bahkan jumlah pekerja yang terkena PHK diprediksi lebih besar. Itu karena ada sejumlah pabrik yang tidak tergabung di asosiasi dan data mereka tidak terpantau.

Sudarto mengatakan, solusi untuk masalah itu harus komprehensif. Pemerintah harus melihat hingga ke akar masalahnya yakni semakin berkurangnya pabrik SKT.

Kini, berbagai kebijakan pemerintah memang tidak ramah SKT. Dengan berbagai alasan, pemerintah mendorong penurunan konsumsi rokok khususnya SKT.

Karena karakter produknya, konsumsi SKT butuh waktu lebih lama dibandingkan konsumsi sigaret kretek mesin (SKM). Padahal, berbagai regulasi mendorong waktu konsumsi rokok semakin singkat. Akibatnya, semakin banyak orang beralih ke SKM dan SKT ditinggalkan.

Sudarto mengatakan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan juga nasib pekerja SKT. Pemerintah harus mencari solusi untuk kesejahteraan pelinting. "Mereka juga warga negara Indonesia dan pemerintah harus hadir untuk mereka," tutup dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya