Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tingkat kemiskinan 9,82 persen merupakan terendah sejak era krisis moneter pada 1998. Namun parameter soal kemiskinan ini dipertanyakan Anggota Banggar DPR RI Sungkono.
Sri Mulyani kemudian menjelaskan jika tingkat kemiskinan ini telah dihitung Badan Pusat Statistik (BPS). Hal tersebut dengan memperhitungkan jumlah kebutuhan kalori yang dikonsumsi masyarakat yang dikonversikan dengan harga bahan pangan untuk mencapai kebutuhan kalori tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi kalau kebutuhan manusia minimal kalorinya 2.250 kalori per hari, itu dikonversi untuk mendapatkan 2.250 kalori itu menjadi komponen makanan yang kemudian harga dari makanan itu dikonversi, sehingga 2.250 itu menjadi garis kemiskinan," ujar dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Dia menjelaskan, kebutuhan 2.250 kalori per hari di Indonesia beda dengan negara lain seperti India, Singapura, Amerika Serikat (AS). Ini karena komponen makanan yang biasa dikonsumsi pada masing-masing negara berbeda, sehingga angka atau nilai kebutuhan kalori di setiap negara berbeda-beda.
"Dalam metode statistik biasanya perbedaan purchasing power parity itu ada metode untuk meng-compare-kan. Kalau ekonom biasanya kalau mudah biasanya minum kopi dengan saya beli di Indonesia dengan di AS akan berbeda harganya. Itu kenapa disebut masing-masing negara punya purchasing power parity untuk membeli barang yang sama dibutuhkan jumlah rupiah yang berbeda," jelas dia.
Menurut Sri Mulyani, pola perhitungan yang dipakai BPS untuk menentukan angka kemiskinan yaitu dengan patokan kebutuhan kalori tersebut sehinggga disebut sebagai garis kemiskinan. Dan garis kemiskinan ini akan bergerak jika harga pangan bergerak.
Sebagai contoh, jika harga beras, telur dan gula meningkat untuk mendapatkan 2.250 kalori dan inflasi tinggi, maka garis kemiskinannya tinggi,
"Makanya kalau pemerintah ingin menjaga harga makanan itu stabil sebetulnya secara tidak langsung ingin mendapatkan tingkat kemiskinan yang menurun. Karena garis kemiskinannya turun. Kalau ada inflasi tinggi maka garis kemiskinannya tinggi maka kemudian banyak orang yang tidak miskin masuk menjadi kelompok miskin," tandas dia.
Jumlah Penduduk Miskin Terendah Sejak Krisis 1998
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen) pada Maret 2018. Angka tersebut berkurang 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen).
Kepala BPS, Suharyanto, menyebutkan angka tersebut paling rendah sejak krisis moneter yang dialami Indonesia pada 1998 silam.
"Ini pertama kali Indonesia mendapatkan tingkat angka kemiskinan satu digit, terendah sejak 1998, meski penurunan jumlah penduduknya tidak yang paling tinggi," kata Suharyanto di kantornya, Senin (16/7/2018).
Baca Juga
Meski turun, Suharyanto menegaskan bahwa tugas pemerintah masih banyak sebab jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi.
"Maret 2018 ini adalah untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin di angka 1, biasanya dua digit, ini pertama kalinya terendah. Tapi menurut saya kita masih punya banyak PR, kebijakan harus tepat sasaran. Memang persentase paling rendah tapi jumlah (penduduk miskin) masih besar."
Suharyanto mengungkapkan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 persen, turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 persen, turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018.
Selama periode September 2017-Maret 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun hingga 128,2 ribu orang (dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada Maret 2018). Sementara itu, di daerah perdesaan turun 505 ribu orang (dari 16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret 2018).
Advertisement