Liputan6.com, New York - Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat pada 17 Juli mengusulkan aturan baru terkait kenaikan biaya pengurusan visa bagi Program Pertukaran Pelajar dan Pengunjung atau "Student and Exchange Visitor Program (SEVP)" dan Sistem Informasi Pertukaran Pelajar dan Pengunjung "Student and Exchange Visitor Information System (SEVIS)."
Biaya pengurusan formulir I-901 SEVIS, yaitu untuk visa pertukaran pelajar kategori F, M dan J, akan naik dari US$200 menjadi US$350 dolar bagi pelamar visa F dan M. Sementara pelamar visa J umumnya akan naik dari US$180 menjadi US$220. Sedangkan untuk visa J yang berlaku selama empat bulan, biayanya masih tetap US$35 per visa.
Advertisement
Sekolah yang memperpanjang sertifikasi SEVP dan sekolah yang mengubah alamat mereka juga akan dikenai biaya baru dan kenaikan biaya. Untuk dapat disertifikasi, sekolah harus membayar tambahan US$1.300.
Departemen Keamanan Dalam Negeri lewat peryataan resminya mengatakan, kenaikan biaya itu dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan anggaran, demikian seperti melansir VOA Indonesia, Rabu (18/7/2018).
"Jika program itu berlanjut untuk beroperasi dengan tingkat biaya pengurusan visa seperti sekarang ini, SEVP akan mengalami kekurangan anggaran tahunan sebesar 68,9 juta dolar Amerika Serikat mulai 2019," ujar pernyataan tersebut.
"Usul kenaikan biaya ini akan menghapus risiko tersebut dan membuat SEVP dapat berlanjut guna mencapai prioritasnya, yaitu meningkatkan keamanan nasional dan mencegah penipuan imigrasi."
"Sebagai seseorang yang bekerja di pendidikan internasional, akan sangat membantu untuk memahami mengapa peningkatan itu dapat dibenarkan, selain dari soal adanya kekurangan anggaran 68,9 juta dolar mulai 2019. Apa yang menyebabkan kenaikan biaya ini? Mempekerjakan lebih banyak agen?" ujar seorang pengguna visa Michael Dixon pada Inside Higher Ed tentang aturan itu.
"SEVP mengelola sekolah, pelajar non-imigran dalam klasifikasi visa F dan M, dan tanggungan mereka. Departemen Luar Negeri mengelola program pertukaran pengunjung, pertukaran pengunjung non-imigran dan tanggungan mereka dengan klasifikasi visa J," lanjut keterangan tersebut.
SEVP dan Departemen Luar Negeri menggunakan SEVIS untuk melacak dan memantau sekolah, program pertukaran pengunjung, dan pemegang visa F, M dan non-imigran ketika mereka berkunjung ke Amerika Serikat dan mengikuti sistem pendidikan di Negeri Paman Sam.
SEVIS adalah database dengan informasi tentang pertukaran pelajar internasional yang dikelola oleh Badan Urusan Imigrasi dan Bea Cukai ICE.
Usul aturan ini disampaikan di tengah meningkatnya keprihatinan tentang kebijakan imigrasi Presiden Donald Trump. Masyarakat dapat menyampaikan pandangan tentang usul itu hingga 17 September 2018. Setelah masa menyampaikan pandangan itu habis, aturan ini akan dikaji sebelum diberlakukan atau ditolak.
Proses ini dapat memakan waktu beberapa bulan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Amerika Serikat Batasi Visa Bagi Pelajar Asing Asal China
Sementara itu, mulai 11 Juni tahun ini, pemerintah Amerika Serikat resmi membatasi visa bagi pelajar asal China yang hendak belajar sains dan teknologi di Negeri Paman Sam, yakni menjadi hanya setiap satu tahun.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan, sesuai kebijakan baru itu, para petugas konsuler bisa membatasi berapa lama visa berlaku bagi pelajar asal China, dibanding kebiasaan selama ini yang berlaku hingga lima tahun.
Laporan kantor berita Associated Press yang dikutip oleh VOA Indonesia pada Jumat 1 Juni 2018, presiden Dewan Pendidikan AS Ted Mitchel mengatakan: "kebijakan baru ini buruk bagi lembaga-lembaga pendidikan, dan merugikan bagi bangsa Amerika."
Menurut Mitchel, meski kebijakan tersebut agaknya ditujukan kepada pelajar asal China yang mengejar pendidikan tinggi di bidang teknologi dan sains, namun dampaknya akan merugikan bangsa Amerika Serikat.
"Sangat merugikan bagi kemampuan kita untuk menarik mahasiswa internasional dari seluruh dunia," tambah Ted Mitchel.
Sementara itu, ditambahkan oleh Mitchel, akan muncul kecurigaan dari kalangan internasional, sebagai isyarat semakin kecilnya kesempatan bagi mahasiswa dan pakar untuk berpartispasi di pendidikan di Amerika Serikat.
"Kami khawatir Amerika tidak akan menerima mahasiswa dan pakar yang berbakat dari banyak negara," ujar Mitchel.
Menurut data Kementerian Pendidikan AS, dari lebih satu juta mahasiswa internasional yang belajar di Negeri Paman Sam, 30 persen di antaranya berasal dari China.
Tapi beberapa waktu terakhir, jumlah pelajar asing yang datang ke Amerika Serikat kian menurun.
Sebagian besar beralasan karena tingginya biaya kuliah, serta adanya pembatasan kunjungan orang asing ke AS sejak Presiden Donad Trump berkuasa.
Advertisement