Rizal Ramli Angkat Bicara soal Data Angka Kemiskinan BPS

Ekonom senior Rizal Ramli kembali bersikukuh untuk dapat maju menjadi Calon Presiden (Capres) periode 2019-2022.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 19 Jul 2018, 09:45 WIB
Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli saat diskusi "Debat-Tak Debat: Utang Besar Buat Siapa? di Jakarta, Selasa (3/7). Rizal Ramli mengungkap perekonomian Indonesia, khususnya masalah utang dalam kondisi yang kurang sehat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Rizal Ramli kembali bersikukuh untuk dapat maju menjadi Calon Presiden (Capres) periode 2019-2022.

Selain itu, dia juga turut mengkritik data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait penurunan angka kemiskinan di Indonesia yang dinilainya semu.

Mantan Menteri Keuangan di era Presiden Abdurahman Wahid ini mengatakan, bila impiannya jadi presiden terwujud, ia bakal keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terkait pembiayaan partai politik oleh negara.

"Hari kedua Rizal Ramli sebagai presiden akan keluarkan Perpu, semua partai politik akan dibiayai oleh negara. Sama seperti di Eropa, Jerman, Skandinavia, Inggris, kami alokasikan Rp 40 triliun. Sehingga partai tidak kesulitan mencari kader yang kompeten," urai dia di Jakarta, seperti dikutip Jumat (19/7/2018).

Lebih lanjut, dia ikut mencermati laporan terbaru BPS soal jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2018 yang tercatat terus berkurang. Menurut dia, perhitungan tersebut terkesan menjebak.

"Memang kita bisa main-main dengan statistik. Soal kemiskinan, BPS mungkin benar angka kemiskinan turun. Tetapi definisi kemiskinan yang dipakai kurang dari Rp 14 ribu per hari, hanya sekitar Rp 13.400,"  ujar dia.

Seperti yang diketahui, beberapa waktu lalu BPS merilis data, yang menyatakan angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 turun jadi 9,82 persen dari jumlah total penduduk, atau sebanyak 25,95 juta jiwa. 

Adapun laporan tersebut turut mengindikasikan meningkatnya pengeluaran per kapita per bulan atau garis kemiskinan negara, yang naik 3,63 persen dari Rp 387.160 per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp 401 220 per kapita per bulan pada Maret 2018.

Bila dihitung lebih jauh, masyarakat Indonesia yang kini masih terbilang miskin adalah individu yang pengeluaran dalam satu harinya kurang dari Rp 13.374.

Rizal Ramli berpendapat, perhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini. "Coba kita pikir, dengan biaya Rp 13.400 itu kayak masih belum cukup untuk biaya transportasi, listrik, dan macam-macam," papar dia.

Ia menilai, jumlah tersebut terbilang rendah sekali jika dikomparasikan dengan standar kemiskinan menurut dunia internasional, yang disebutkannya sebesar USD 2, atau Rp 28.668 (Kurs Rp 14.334 per USD 1).

Adapun nilai garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia atau World Bank adalah sebesar USD 1,9 per hari, atau sekitar Rp 27.234 untuk sehari.

"Kalau kita pakai definisi USD 2, Rp 13.400 begitu rendah sekali. Jadi jangan bangga bahwa Rp 13.400 sehari itu sudah lumayan," pungkas dia.

 


Jumlah Penduduk Miskin Terendah Sejak Krisis 1998

Kondisi kesemrawutan di pemukiman kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis (5/1). Badan Pusat Statistik (BPS) melansir jumlah penduduk miskin hingga September tahun lalu turun menjadi 27,76 juta orang dibandingkan Maret 2016. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen) pada Maret 2018. Angka tersebut berkurang 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen).

Kepala BPS, Suharyanto, menyebutkan angka tersebut paling rendah sejak krisis moneter yang dialami Indonesia pada 1998 silam.

"Ini pertama kali Indonesia mendapatkan tingkat angka kemiskinan satu digit, terendah sejak 1998, meski penurunan jumlah penduduknya tidak yang paling tinggi," kata Suharyanto di kantornya, Senin 16 Juli 2018.

Meski turun, Suharyanto menegaskan bahwa tugas pemerintah masih banyak sebab jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi.

"Maret 2018 ini adalah untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin di angka 1, biasanya dua digit, ini pertama kalinya terendah. Tapi menurut saya kita masih punya banyak PR, kebijakan harus tepat sasaran. Memang persentase paling rendah tapi jumlah (penduduk miskin) masih besar."

Suharyanto mengungkapkan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 persen, turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 persen, turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018.

Selama periode September 2017-Maret 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun hingga 128,2 ribu orang (dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada Maret 2018). Sementara itu, di daerah perdesaan turun 505 ribu orang (dari 16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret 2018)

Peran komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).

"Sumbangan garis kemiskinan nakanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2018 tercatat sebesar 73,48 persen. Angka ini naik dibandingkan kondisi September 2017, yaitu 73,35 persen," ujarnya.

Sementara itu, jenis komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan adalah beras, rokok keretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, dan gula pasir.

"Sedangkan komoditas non-makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan maupun perdesaan adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi," tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya