Kisah Desa Petulu di Bali, Memanen Berkah dari Kawanan Bangau yang Bertamu

Burung juga berkeliaran di atap rumah, halaman, di jalanan, bahkan di pura tempat warga beribadah.

oleh Luqman RimadiHarun Mahbub diperbarui 19 Jul 2018, 15:48 WIB
Desa Petulu tempat bernanung burung-burung kokokan (Liputan6.com / HMB)

Liputan6.com, Jakarta - Warga Desa Petulu, Ubud, Bali, kedatangan ribuan tamu rutin setiap tahun pada Oktober hingga empat bulanan ke depan. Bukan tamu dari bangsa manusia, tapi kawanan burung. Ya, burung kokokan atau bangau putih.

Dalam kurun Oktober-Maret, ribuan burung kokokan bermigrasi ke Desa Petulu. Burung-burung bertelur dan berbiak. Warga pun berbagi tempat dengan burung.

Di desa ini, kawanan burung membuat sarang di pohon-pohon. Di saat-saat itu keheningan desa diwarnai dengan suara ciap-ciap anak burung yang baru menetas. 

"Cak, cak, cak, cak, suara anak burung, seperti suara orang menari," ujar Kepala Desa Petulu Tjokorda Agung Satriyo Dharmo, saat menerima kunjungan perwakilan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), yang ditulis Kamis (19/7/2018).

Dari bertelur hingga menetas, dia menjelaskan, burung butuh waktu sekitar tiga bulan. Setelah menetas, burung-burung kecil belajar terbang dan mencari makan. Tak jarang, anak-anak burung terjatuh dari pohon. Bukan hanya anak burung yang jatuh dari pohon, sering juga kotoran burung.

Burung juga berkeliaran di atap rumah, halaman, di jalanan, bahkan di Pura tempat warga beribadah. Diakui, hal itu cukup merepotkan, tapi warga justru tak menganggapnya masalah, malah menjadi berkah.

"Sudah maunya Beliau Yang-di atas (Tuhan) kalau kita hidup berdampingan dengan burung-burung," kata Tjokorda Agung.

Sebagai antipasi adanya penyakit yang bisa jadi terbawa dari burung, pihak desa telah berkonsultasi dengan Dinas Kesehatan setempat. Selebihnya, warga menyambut hangat kedatangan burung-burung.

Istilah Si Kepala Desa, relasi warga dan burung saling menguntungkan. "Burung mendapat tempat bernaung dan membesarkan anak, sedangkan warga mendapat bantuan mengurangi hama di sawah," kata dia. 

Soal kapan burung-burung ini mulai mampir di Desa Petulu, Kepala Adat Desa Tjokorda Gede Sukowati, kawanan burung kokokan tidak seketika datang dalam jumlah ribuan seperti saat ini.

Menurut para sesepuh desa, burung mulai datang pada 1965, ditandai dengan kedatangan 12 burung. Warga muali menyambutnya dengan hangat. "Sebelumnya datang di desa lain tapi diusir. Si sini kami sambut bahkan dengan upacara penyambutan khusus di pura desa," kata dia.

Dari 15 burung itu, lambat laun jumlah burung yang ke Petulu terus bertambah. Meningkat jadi puluhan, ratusan, hingga ribuan sampai saat ini.


Sejak 1965

Burung Kokokan di Bali (Foto: Dok Desa Petulu)

Menurut pendamping desa setempat, Nyoman Nuraga, hubungan harmonis warga dan burung di desa itu terjalin karena energi cinta.

"Burung juga bisa merasakan kalau jiwanya diasihi," kata instruktur yoga tersebut.

"Ketika burung-burung tidak diganggu di desa itu, niscaya mereka betah berumah di dalamnya," kata dia. 

Ihwal perilaku burung, pegiat perlindungan satwa Fransisca Noni menjelaskan, burung sering melakukan pergerakan atau berpindah tempat. Pergerakan yang terjadi biasanya berhubungan dengan pakan.

"Sebagai salah satu strategi tetap bertahan hidup, beradaptasi, dan mengurangi kematian yang tinggi dalam menghadapi musim dingin atau berkurangnya pakan di suatu lokasi," jelas dia.

Pergerakan dari daerah dingin (utara) ke daerah panas (selatan) disebut migrasi musiman, terjadi pada setiap tahun pada bulan Oktober hingga April. Ribuan burung, seperti burung pantai, burung elang, hingga burung kecil menuju ke negara tropis untuk mencari makan.

Pada awal hingga pertengahan Mei, burung dewasa yang berada di daerah selatan akan kembali ke negara asal untuk berkembang biak. Sedangkan burung yang masih muda bisa menghabiskan waktu muda hingga dewasa di negara tropis.

Perpindahan yang dilakukan setiap hari juga dilakukan pada beberapa jenis burung. Burung akan melakukan perpindahan dalam mencari makan pada pagi hari atau sore hari dan akan kembali ke tempat istirahat pada sore hari atau pagi hari.

Perpindahan ini biasanya banyak dilakukan pada jenis burung kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax) atau jenis kuntul (Egretta sp).


Manfaatkan Dana Desa

Warga gotong royong membangun tempat konservasi burung di Desa Petulu, Ubud, Bali yang dibiayai Program Padat Karya Tunai (PKT). (Dok: Kemendes)

Sadar adanya potensi besar dari keberadaan burung-burung itu, warga  mulai membangun penangkaran burung kokokan. Tujuan utamanya untuk konservasi burung, dan menolong burung-burung kecil yang terjatuh.

Tujuan lain adalah menjadikan destinasi wisata. Para turis yang berkunjung ke desa di luar musim burung berdatangan bisa melihat burung dalam penangkaran. Untuk membangun penangkaran burung itu, Warga mendapatkan solusi dari pemerintah pusat melalui dana desa.

"Dana desa salah satunya untuk ini agar terus bergulir dan memaju kemajuan serta perekonomian desa," kata Tjokorda Agung Satriyo Dharmo,

Untuk memberdayakan masyarakat dan mengembangkan desa wisata burung itu, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 259 juta untuk Desa Petulu.  Penggunaan dana desa ini atas kesepakatan warga, karena tujuannya juga untuk pemberdayaan masyarakat Desa Petulu melalui program Padat Karya Tunai (PKT).

Tjokorda mengatakan upaya ini diharapkan bisa meningkatkan pendapatan daerah dari restribusi yang dipungut dari turis atau wisatawan yang datang.

Di Desa Petulu sendiri, selain hasil dari wisata burung Kokohan juga, pendapatan desa juga diperoleh dari hasil kerajinan ukiran, patung dan lukisan.

"Pengelolaan penghasilan dari pengembangan dana desa ini merupakan kerja sama dengan Badan Usaha milik Desa (BumDes)," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya