Liputan6.com, Berlin - Siang yang terik, Kamis 20 Juli 1944, Kolonel Claus Schenk Graf von Stauffenberg tiba di sebuah markas rahasia Adolf Hitler di Front Timur.
Dijuluki Sarang Serigala atau Wolf's Lair (Wolfsschanze), kompleks yang dijaga ketat para tentara tersebut berada di lokasi tersembunyi di sebuah hutan di Prusia Timur.
Kala itu, Kolonel Stauffenberg ikut dalam rapat harian yang dihadiri Hitler dan sejumlah petinggi militer. Ia terlambat karena lokasi pertemuan yang dijadwalkan pada pukul 12.30 waktu setempat tiba-tiba diubah.
Baca Juga
Advertisement
"Kami berdiri, kemudian Hitler datang. Rapat pun siap dimulai," kenang salah satu petinggi militer Jerman, Jenderal Walter Warlimont dalam wawancara dengan BBC pada 1967.
Namun, kedatangan Stauffenberg menginterupsi pertemuan penting tersebut.
"Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Saya menolehkan kepala dan melihat seorang kolonel datang...ia meninggalkan kesan mendalam, sebab ada penutup di mata kanannya dan salah satu lengannya diamputasi. Ia berdiri tegak di sana, seperti wajarnya seorang prajurit."
Warlimont menambahkan, Hitler juga memalingkan kepala dan melihat ke sang perwira. Raut muka tak senang terlihat di wajah bos Nazi itu. Jenderal Wilhelm Keitel, salah satu pemimpin militer, memperkenalkan sosok yang baru datang tersebut.
Tak sekedar ikut rapat, diam-diam Stauffenberg punya misi khusus: membunuh Hitler. Ada sebuah bom siap ledak di dalam tas hitam yang ia bawa.
Karena tergesa-gesa, Stauffenberg hanya bisa membawa satu dari dua bom yang ia siapkan. Pria 36 tahun itu kemudian meletakkan tas berisi bahan peledak di bawah meja, sedekat mungkin dengan Hitler.
Berpura-pura harus membuat panggilan telepon, Stauffenberg kemudian meninggalkan ruangan.
Saat ledakan terjadi tak lama kemudian, sekitar pukul 12.42, Stauffenberg yakin, Hitler sudah mati. Ia bahkan percaya, tak ada yang selamat di ruangan tersebut.
Insiden tersebut menewaskan empat orang dan melukai banyak lainnya. Hilter, yang jadi target utama justru selamat.
"Saat bom meledak, saya merasa seperti kejatuhan lampu gantung besar. Sata terjatuh. Saat itu, Hitler digiring keluar dari ruangan...dia seakan sama sekali tak terluka, atau setidaknya tak cedera parah," kata Warlimont.
Kaki meja yang besar dan terbuat dari kayu oak yang kuat menjadi perisainya.
Saat kepulan asap hitam kian menipis, Hitler ditemukan dalam kondisi masih hidup, terluka, wajah penuh jelaga, satu tangannya bahkan dalam kondisi lumpuh sementara.
Namun, tak ada hal gawat yang dialaminya, sore harinya Hitler masih bisa menemui Benito Mussolini, bahkan memandu tur Il Duce ke lokasi pemboman.
Suami Eva Braun itu yakin, suratan takdir lah yang menyelamatkannya. "Aku yakin itu adalah 'pertanda' bahwa masih ada tugas yang harus aku lakukan. Tak ada apapun yang akan terjadi padaku," kata Hitler.
Ternyata, saat Stauffenberg meninggalkan ruangan, salah satu koleganya, Kolonel Heinz Brandt memindahkan tas tersebut karena menghalangi kakinya.
Brandt meninggal dunia sehari kemudian. Hitler pun menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Generalmajor (mayor jenderal).
Stauffenberg dan sesama komplotannya, Werner von Haeften cepat-cepat lari ke pangkalan udara. Setibanya di Berlin, mereka bersiap melancarkan fase berikutnya: kudeta militer terhadap para pemimpin Nazi.
Namun, Joseph Goebbels kemudian mengumumkan melalui radio bahwa Hitler selamat dari percobaan pembunuhan. Menyusul kemudian, suara sang fuhrer terdengar, mengonfirmasi, ia masih bernawa. Para konspirator pun menyadari, kudeta telah gagal.
Mereka justru jadi buruan aparat. Baku tembak pun terjadi, Stauffenberg terluka di bahu. Ia dan para konspirator dieksekusi pada 21 Juli 1944.
Terluka dalam perang
Kolonel Claus Schenk Graf von Stauffenberg adalah seorang perwira karier, yang berasal dari keluarga aristokrat pemeluk Katolik.
"Semua orang mengatakan, ayah saya sangat tampan. Dia bermata biru, rambut hitamnya sedikit bergelombang, badannya pun tinggi. Dia orang yang sangat ceria, sering tertawa dan kami pikir dia sungguh luar biasa," kata putranya, Berthold Schenk Graf von Stauffenberg.
Pada tahun 1943, Stauffenberg terluka parah saat bertugas di Tunisia. Ia kehilangan satu mata, tangan kanan, dan dua jari di tangan kirinya.
"Saat itu, adalah hal yang dianggap biasa jika seorang tentara kehilangan lengan, kehilangan mata, cukup normal. Yang penting dia masih hidup," kata Berthold.
Meskipun tidak terlalu tertarik dengan politik, Stauffenberg adalah seorang konservatif dan nasionalis. Kadang-kadang, ia mendukung kebijakan Nazi, tetapi ketika perang berlangsung, penentangannya terhadap rezim tumbuh.
Ia merasa ngeri dengan kekejaman Nazi di Front Timur. Sang perwira pun tahu benar, Jerman sudah kalah.
Selain plot pembunuhan Hitler, sejumlah kejadian penting dalam sejarah terjadi pada tanggal 20 Juli.
Pada 1951, Raja Abdullah I dari Yordania dibunuh oleh orang Palestina ketika sedang melakukan salat Jumat di Yerusalem.
Sementara pada 20 Juli 1969, Apollo 11 mendarat di Bulan. Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang menjejakkan kaki di Bulan.
Saksikan video terkait Hitler berikut ini:
Sang Jenderal Dalang Kudeta
'Pembersihan' digelar pascakudeta, lebih dari 7 ribu orang ditangkap. Lebih dari 5 ribu di antaranya menemui ajal, baik karena dieksekusi atau bunuh diri. Salah satunya adalah pejabat militer berpangkat jenderal.
Sabtu 14 Oktober 1944, tepat pukul 12.00, dua utusan Nazi tiba di rumah Jenderal Erwin Johannes Eugen Rommel. Mereka -- yang semuanya berpangkat bintang alias perwira tinggi -- datang membawa pesan khusus dari Adolf Hitler.
Peristiwa hari itu tak lekang dari ingatan putra sang jenderal, Manfred Rommel, yang kala itu berusia 15 tahun.
Sekitar tiga perempat jam setelah pertemuan itu, Manfred melihat ayahnya keluar dari kamar sang ibu.
"Ayahku lalu berkata...Adolf Hitler memberinya dua pilihan, minum racun atau diseret ke Pengadilan Rakyat (Volksgerichtshof)," kata Manfred, seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (13/10/2016).
Pada sang anak, Rommel mengaku dituduh terlibat dalam plot 20 Juli 1944 -- rencana pembunuhan terhadap Adolf Hitler yang gagal.
Hitler rupanya tak ingin menurunkan status Rommel sebagai 'pahlawan perang Jerman', sehingga ia menawarkan pilihan bunuh diri, dengan menelan pil sianida -- dengan efek mematikan yang luar biasa cepat, hanya 5 detik.
Jenderal Rommel memilih opsi pertama. Apalagi, Hitler menjanjikan, keluarganya bakal aman jika ia bunuh diri.
"Setelah mengucapkan selamat tinggal kepadaku...ayah meninggalkan rumah, mengenakan seragam lengkap. Kami mengantarnya menuju mobil, di sana ada seorang jenderal yang menyambutnya dengan salam 'Heil Hitler'."
Jenderal Rommel masuk ke dalam mobil lebih dulu, ia duduk di kursi belakang. Para jenderal menyusul kemudian. Lalu, kendaraan itu pun melaju pergi.
Sekitar 15 menit kemudian, dering telepon terdengar. Itu panggilan dari rumah sakit. "Mereka mengabarkan, ayah dibawa ke RS oleh dua jenderal, dalam kondisi menderita cerebral apoplexy (kerusakan otak akibat tersumbatnya atau pecahnya pembuluh darah)," kata Manfred.
Rommel dinyatakan tewas akibat luka-luka dalam perang pada 14 Oktober 1944. Ia dimakamkan dengan upacara kenegaraan. Baru belakangan terkuak, sang jenderal bunuh diri dalam kondisi terpaksa.
Advertisement