Liputan6.com, Jakarta - Microsoft menggelar sebuah progam bug bounty yang menawarkan hadiah senilai USD 100.000 atau setara Rp 1 miliar untuk hacker yang berhasil menemukan celah keamanan di sistemnya.
Hacker yang dimaksud tentunya adalah hacker baik yang tidak akan menggunakan temuannya untuk sesuatu yang bersifat buruk atau mengarah ke tindak kriminal.
Baca Juga
Advertisement
Program bug bounty Microsoft mengharuskan para peneliti keamanan untuk membagikan detail kerentanan-kerentanan yang ditemukannya kepada perusahaan.
Mengutip laman Softpedia, Jumat (19/7/2018), temuan celah keamanan pun dihargai masing-masing antara US$ 500 hingga US$ 100.000. Semuanya tergantung berdasarkan kualitas dan tipe celah yang ditemukan.
Dalam keterangannya, Microsoft menyebut, laporan berkualitas tinggi adalah laporan yang menyediakan berbagai informasi penting engineer untuk mereproduksi, memahami, dan memperbaiki masalah.
Biasanya dalam laporan berisi informasi latar belakang, deskripsi bug dan bukti konsep.
Microsoft menawarkan hadiah tertinggi bagi peneliti keamanan yang berhasil mem-bypass autentikasi multifaktor.
Sementara, hadiah terendah ditawarkan untuk pemalsuan permintaan lintas situs, cacat otorisasi, dan paparan data sensitif. Peretas bisa mendapatkan masing-masing US$ 500 jika menemukan celah semacam ini.
Program ini juga berlaku untuk aplikasi Microsoft Authenticator pada Android dan iOS.
Sekadar diketahui, Authenticator merupakan sebuah aplikasi yang memungkinkan pengguna smartphone untuk login dengan mudah ke akun mereka tanpa password. Semuanya bisa dilakukan dengan mengautorisasi proses pada smartphone.
Aplikasi ini akan menampilkan notifikasi kapanpun ada upaya untuk masuk akun si pengguna.
Manfaatkan Teknologi Pengenalan Wajah
Sebelumnya, perusahaan software Microsoft telah memanfaatkan teknologi pengenalan wajah. Karenanya, perusahaan teknologi yang berbasis di Redmond, Amerika Serikat itu mengusulkan agar ada aturan soal teknologi ini.
Melalui laman blog perusahaan, President Microsoft Brad Smith menyerukan agar pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat peraturan termasuk menyiapkan norma sebagai acuan dalam pemanfaatan teknologi pengenalan wajah ini.
"Tanpa pendekatan yang bijaksana, otoritas publik akan melakukan pendekatan bias untuk memutuskan siapa yang melacak, menyelidiki, termasuk menangkap kriminal saat ada penyalahgunaan teknologi ini," tulisnya seperti dikutip dari Fox News, Kamis (19/7/2018).
Karena itu, Microsoft yang juga menyediakan teknologi pengenalan wajah, menolak permintaan pelanggan yang dianggap dapat melanggar hak-hak masyarakat.
Alasannya, teknologi ini sebenarnya memiliki penerapan positif, tapi dapat berpotensi melanggar hak seseorang.
"Bayangkan sebuah toko di mal menggunakan pengenalan wajah untuk berbagi informasi seputar barang yang dibeli dan dilihat, tanpa meminta izin terlebih dulu," tulisnya.
Pernyataan Smith ini sejalan dengan sejumlah advokat dan kelompok sipil di Amerika Serikat yang meminta pemerintah AS mulai melakukan pengawasan pada teknologi pengenalan wajah. Mereka beralasan teknologi ini dapat disalahgunakan oleh sejumlah pihak.
"Bayangkan ada pusat data dari semua orang yang menghadiri acara berbau politik, padahal kehadiran di tempat seperti itu merupakan esensi dari kebebasan berbicara," ucapnya.
(Tin/)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement