Liputan6.com, Jakarta Harga rokok di Indonesia dinilai masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Faktor daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir ini menjadi acuannya.
Ini seperti diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo yang mengakui jika harga rokok di Indonesia memang sangat tinggi.
Dia membandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Korea, Tiongkok, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.
Baca Juga
Advertisement
Penilaian tersebut berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), yakni rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.
"Kalau dibandingkan dengan harga dan hitung daya beli, harga rokok Indonesia relatif mahal dibandingkan negara-negara lainnya," ujar dia, Jumat (20/7/2018)
Sebab itu, menurut Yustinus, industri rokok nasional akan terpuruk jika harganya kembali naik. "Industri Hasil Tembakau saat ini sudah memasuki sunset industry. Ini akan berdampak dari hulu ke hilir, mulai dari petani, buruh, sampai pengasong. Ini harus dipikirkan," ucap dia.
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan juga mengatakan harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Faktor daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir ini menjadi acuannya.
"Kalau secara nominal absolut memang benar. Tapi kalau mempertimbangkan daya beli, rokok di Indonesia sudah mahal," kata kata Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai Deni Surjantoro beberapa waktu lalu.
Deni menjelaskan pemerintah tidak akan gegabah menaikkan harga rokok. Dampak negatifnya akan berimbas terhadap kelangsungan industri. "Jika lebih dari titik kulminasinya, kenaikan seberapa pun justru menurunkan. Kami selalu berhati-hati agar kebijakan tetap optimum," tutur dia.
Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, sebelumya menyatakan harga jual sebatang rokok di Indonesia merupakan yang tertinggi setelah dibandingkan dengan pendapatan per kapita per hari masyarakat.
"Secara nominal harga rokok di Indonesia memang relatif lebih rendah daripada Singapura atau negara maju lain. Tapi kalau kita bandingkan secara relatif terhadap pendapatan per kapita per hari, sebenarnya harga jual satu batang rokok kita termasuk yang tertinggi," ucapnya.
Reporter: Idris Rusadi Putra
Sumber: Merdeka.com
Harga Naik Jadi Rp 70 Ribu, Orang RI Bakal Setop Merokok
Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei mengenai dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok. Dari hasil survei menunjukan bahwa masyarakat Indonesia mendukung harga rokok dinaikan agar tidak ada lagi membeli rokok.
Anggota Tim Peneliti PKJS-UI Renny Nurhasanah mengungkapkan, dukungan harga rokok mahal ternyata tidak hanya muncul dari masyarakkat non perokok, namun juga dari para perokok itu sendiri. Hal ini dibuktikan dalam survei yang dilakukan PKJS-UI selama bulan Mei 2018 pada 1.000 responden.
Baca Juga
Renny mengatakan, survei ini ditujukan untuk mengukur seberapa besar dukungan masyarakat terhadap kenaikan harga rokok dan mengetahui sikap perokok terhadap dampak kenaikan harga rokok.
"Bahwa 88 persen responden mendukung kenaikan harga rokok agar anak-anak tidak membeli rokok. Jika dikelompokan pada perilaku merokok 80,45 persen perokok, 93,01 persen non perokok, dan 92,63 persen yang sudah berhenti merokok setuju harga rokok dinaikin lagi," kata Henny, di Jakarta, Selasa (17/6).
Renny melanjutkan, hasil survei juga menunjukan sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 per bungkus dan sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila rokok naik menjadi Rp 70.00 per bungkus.
"Hal ini menunjukan dukungan yang positif dari para perokok sendiri untuk menikan harga rokok secara signifikan dibanding harga rokok yang sekarang ada, yaitu rata-rata Rp 17.000 per bungkus," imbuhnya.
Advertisement