Liputan6.com, Helsinki - Pertemuan antara dua pemimpin negara besar telah dilakukan. Presiden Donald Trump dan Presiden Vladimir Putin akhirnya bertatap muka dalam KTT Amerika Serikat-Rusia di Helsinki, Finlandia, Senin 16 Juli 2018 siang waktu setempat (sekitar 18.00 WIB).
Trump telah mengangkat sejumlah isu seputar AS-Rusia kepada Putin, meliputi bilateral ekonomi perdagangan, militer, perlombaan senjata nuklir dan pemusnah massal, serta isu geopolitik yang menjadi perhatian kedua negara.
Advertisement
"Kami akan berdiskusi tentang semua hal, dari perdagangan, militer, misil, nuklir, hingga China," kata Trump bersama Putin di hadapan sejumlah wartawan jelang dialog tatap muka tertutup.
Dalam pertemuan bersejarah tersebut, Donald Trump dan Vladimir Putin melaksanakan dialog tertutup selama beberapa menit, tanpa didampingi delegasi penasihat masing-masing. Hal itu merupakan keinginan sang presiden AS yang merasa bahwa dirinya akan mampu "menilai Putin secara lebih baik, antar sesama pemimpin dengan pemimpin."
Di antara topik itu, Ukraina timur dan Semenanjung Krimea juga dibahas. Mereka masih berseberangan dan mengambil sikap "sepakat untuk tidak sepakat" soal langkah Moskow yang menganeksasi Krimea dari Ukraina pada 2014 silam, meski Trump tetap bersikukuh bahwa tindakan Negeri Beruang Merah itu adalah ilegal.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo buka suara ketika ditanya tentang 'isi obrolan' dua presiden itu. Dalam sebuah wawancara bersama Voice of America, Kamis 19 Juli 2018, Pompeo mengatakan bahwa percakapan mengenai Ukaina timur memang dilakukan dan Donald Trump tetap pada pendiriannya.
"Presiden Trump menjelaskan kepada Vladimir Putin bahwa kegiatan mereka di Ukraina timur tidak menguntungkan Rusia. Kami telah menawarkan dukungan kepada pasukan Ukraina yang bertugas di Ukraina tenggara, tapi pemerintahan sebelumnya berulang kali menolaknya," jelas menlu Amerika Serikat ke-70 ini.
"Padahal kami pikir, dengan demikian mereka bisa menyelenggarakan pemilu 2019 yang sukses. Kami sangat berharap situasi panas itu akan selesai dengan sendirinya, dan Amerika berkomitmen untuk terus mendukung keinginan orang Ukraina," lanjutnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Memicu Tensi
Berbagai analis politik AS menyebut bahwa Ukraina dan Krimea telah lama menjadi pemicu tensi tinggi dalam hubungan AS-Rusia. Pemerintah AS menolak mengakui langkah Rusia menganeksasi Krimea pada 2014 -- menganggapnya sebagai tindakan ilegal berdasarkan hukum internasional.
Namun dalam beberapa pekan terakhir, Trump tampak mengisyaratkan melonggarkan sikap atas isu tersebut. Ketika ditanya soal Ukraina-Krimea, Trump hanya mengatakan, "Kami akan melihat apa yang terjadi."
Kendati demikian, cara Trump menyikapi tindakan Rusia di Krimea juga akan berpengaruh pada hubungan aliansi antara AS-Ukraina.
Trump sebelumnya mengejutkan para pejabat dalam pertemuan G-7 pada Juni 2018 ketika dia berpendapat bahwa semenanjung Krimea harus menjadi milik Rusia, karena "orang di sana berbicara bahasa Rusia."
Pernyataan itu secara tajam bertentangan dengan kebijakan AS yang tidak mengakui aneksasi wilayah --semacam yang terjadi di Krimea.
Sejak 2014, Washington telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasinya ke Krimea. Konflik bersenjata pun masih berlangsung di timur Ukraina, yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang.
"Perhatian utama Kiev adalah Presiden Trump akan secara sepihak mengakui aneksasi Rusia atas Krimea --secara efektif menjual wilayah itu ke Kremlin," kata Daragh McDowell, analis isu Rusia di Verisk Maplecroft, seperti dikutip dari CNBC.
Legalitas tindakan semacam itu --dan apakah itu berarti pengakuan resmi kedaulatan Rusia atas semenanjung itu-- tidak jelas, kata McDowell. Namun, itu tentu akan menurunkan moralitas sekutu AS dan memicu ketidakstabilan domestik di Ukraina.
Advertisement