Lobi Pencabutan Fasilitas Bea Masuk Produk RI, Mendag Terbang ke AS

Mendag akan berada di Washington DC untuk menemui Pemerintah AS dan para pelaku usaha guna membahas peningkatan hubungan dagang kedua negara.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Jul 2018, 14:00 WIB
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berpose saat pemotretan dalam kunjungannya ke Kantor Liputan6 di SCTV Tower, Jakarta (4/5). Enggartiasto juga pernah menjabat sebagai Ketua IKA UPI selama dua periode. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita memimpin delegasi Indonesia dalam kunjungan kerja dan misi dagang ke Amerika Serikat (AS) hari ini.‎

Mendag akan berada di Washington DC untuk menemui Pemerintah AS dan para pelaku usaha guna membahas peningkatan hubungan dagang serta peluang kerja sama perdagangan yang lebih erat antara kedua negara.

“AS merupakan mitra dagang utama bagi Indonesia, sehingga kunjungan ini menjadi penting untuk menjaga dan mempererat hubungan dagang kedua negara yang saling menguntungkan. Sebagai dua negara demokrasi besar dengan pasar yang berkembang, kami optimis kunjungan kali ini akan membuahkan hasil nyata dalam mendorong kemitraan ekonomi yang lebih luas,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (22/7/2018).‎

Enggar diagendakan akan melakukan pertemuan bilateral secara resmi dengan mitranya, yaitu Menteri Perdagangan AS dan Duta Besar United States Trade Representative (USTR) untuk membahas berbagai isu kepentingan Indonesia dan AS.

Misalnya, kajian Pemerintah AS terkait fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi Indonesia, kebijakan kenaikan bea masuk produk baja dan aluminium ke AS, serta beberapa isu akses pasar AS di Indonesia.

‎Selain melakukan pertemuan dengan Pemerintah AS, Enggar bersama pejabat Pemerintah AS diagendakan menghadiri forum bisnis dan one-on-one business matching antara pelaku usaha Indonesia dan AS. Para pelaku usaha tersebut akan menjajaki berbagai peluang kerja sama di Washington DC Selasa mendatang.

Delegasi bisnis dari Indonesia terdiri atas Kadin Indonesia, Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI), Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), produsen ban mobil, minyak kelapa sawit, boga bahari, baja, aluminium, serta makanan dan minuman (mamin).

“Indonesia dan AS memiliki peluang besar untuk memperkuat hubungan dagang yang saling menguntungkan dan adil karena kedua negara memiliki produk yang saling melengkapi. Pertemuan dengan mitra kami dari USTR dan Kementerian Perdagangan AS sangat penting untuk memperdalam kemitraan strategis Indonesia dan AS yang telah dicanangkan kedua negara. Kemitraan tersebut harus dikelola, dijaga dan di tindaklanjuti agar senantiasa saling menguntungkan,” lanjut dia.

Enggar mengatakan, para pelaku usaha Indonesia yang memiliki mitra dagang di AS siap meningkatkan transaksi dagang b-to-b dengan para pelaku usaha AS.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan total perdagangan Indonesia dan AS pada 2017 sebesar USD 25,91 miliar. Dari jumlah tersebut, ekspor Indonesia mencapai USD 17,79 miliar dan impor Indonesia sebesar USD 8,12 miliar. Indonesia surplus terhadap AS sebesar USD 9,67 miliar.

Ekspor utama Indonesia ke AS antara lain udang, karet alam, alas kaki, ban kendaraan, dan garmen. Sementara impor utama Indonesia dari AS antara lain kedelai, kapas, tepung gandum, tepung maizena, serta pakan ternak.‎

 


Alasan Indonesia Masih Layak Terima Fasilitas GSP dari Amerika

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Ekspor April sebesar 14,47 miliar dolar AS lebih rendah ketimbang Maret 2018 yang mencapai 15,59 miliar dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Indonesia dinilai masih membutuhkan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) dalam melakukan perdagangan internasional.

"Saya kurang setuju kalau dikatakan Indonesia sudah anggota G20 lantas hilang haknya (mendapatkan GSP). Tidak juga. Kita masih kategori negara berkembang yang bisa mendapatkan fasilitas GSP, entah dari Eropa, AS, Jepang, atau yg lainnya," ujar Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo di Jakarta, Jumat (20/7/2018).

Dia menjelaskan pemberian GSP memang merupakan hak mutlak dari suatu negara. Fasilitas tersebut diberikan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi negara penerima fasilitas itu.

"Ada kriteria di GSP, country eligibility, di mana parameternya bisa macam-macam, human rights, labor rights, IPR (Intellectual Property Rights)," jelas dia.

"Juga ada kriteria yang dia terapkan yaitu competitive need limitations (CNL). Jadi untuk produk-produk yang sudah melampaui CNL itu akan digraduasi dari cakupan fasilitas GSP. Jadi ada hitung-hitungannya sendiri," imbuh dia.

Menurut dia, rencana pencabutan GSP oleh AS, sebenarnya dapat dimengerti. Sebab dalam pandangan AS, Indonesia sedang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan GSP.

"Tidak hanya kepada Indonesia, tapi juga India dan Kazakhstan, karena mereka melihat kok tampaknya beberapa parameter yang dia terapkan untuk memberikan fasilitas GSP ke negara-negara ini tidak terpenuhi," kata dia.

"Indonesia market shares-nya sudah semakin baik dan tidak ada pesaing yang bisa mendekati, dan tidak ada produk domestik serupa di AS, ya dia akan di-graduate dari GSP," lanjut Iman.

Meskipun GSP adalah hak mutlak negara pemberi, Pemerintah Indonesia tentu tetap mengharapkan mendapatkan fasilitas tersebut untuk mendukung kinerja perdagangannya luar negeri.

Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan AS agar GSP untuk produk Indonesia tetap ada. Indonesia memiliki pengalaman dalam bernegosiasi agar produk yang sudah terkena pencabutan GSP, kembali memperoleh fasilitas itu.

"Produk auto-wiring set dikeluarkan dari GSP pada 2013 atau 2014 kalau tidak salah, karena Indonesia market share-nya dianggap sudah kompetitif untuk bersaing di AS vis-a-vis supplier negara lain," ujarnya.

"Tapi 2014 kita minta untuk dikecualikan dari perhitungan CNL karena alasan kita, kemajuan teknologi membuat produk seperti ini cepat berganti nilai competitiveness-nya. Jadi seingat saya 2015 sudah dimasukkan lagi. Jadi itu memang bisa dilakukan redesignation of products," dia menandaskan.

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya