Liputan6.com, Washington DC - Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS), pada Jumat 20 Juli 2018, mengumumkan akan memberi bantuan US$ 200 juta (setara Rp 2,8 triliun) kepada Ukraina, guna memperkuat militer negara itu dalam menghadapi ancaman invasi Rusia.
Dikutip dari VOA Indonesia pada Minggu (22/7/2018), bantuan itu tidak digunakan untuk pertempuran terbuka, melainkan akan difungsikan untuk membiayai latihan perang, dan penambahan perlengkapan militer, serta advokasi militer internasional.
Adapun penerimaan dana terkait oleh pemerintah Ukraina, masih akan ditentukan dalam beberapa pembahasan selanjutnya dengan Negeri Paman Sam.
Baca Juga
Advertisement
Jumlah total bantuan dana militer yang dialokasikan pemerintah AS ke Ukraina, dan negara-negara sekutu lainnya di kawasan Eropa Timur, disebut mencapai lebih dari US$ 1 miliar sejak 2014 lalu, ketika Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea.
Saat ini, pemerintah Ukraina dikabarkan tengah berusaha mereformasi angkatan bersenjatanya, menyesuaikan dengan kekuatan rekan sesama anggota NATO.
Reformasi ini, menurut Pentagon, diharapkan dapat menunjang kemampuan negara itu untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya, dan menjamin pemerintahan yang berjalan dengan demokratis.
Bantuan Ukraina itu muncul tidak lama setelah perdebatan politis di tingkat pemerintah AS, terkait hasil pertemuan antara Donald Trump dan Vladimir Putin di Helsinki, Swedia, pada Senin 23 Juli.
Simak video pilihan berikut:
Rusia Dituding Mencoba Merusak Demokrasi Barat
Di lain pihak, Menteri Luar negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan pada Kamis, 19 Juli 2018, bahwa Rusia tengah mencoba untuk melemahkan demokrasi global di masa mendatang.
"Saya memiliki keyakinan besar bahwa Rusia akan mencoba dan merusak demokrasi barat pada 2017, 2018, 2019 dan untuk waktu yang sangat lama," kata Pompeo dalam wawancara dengan Fox News.
"Ini adalah tanggung jawab kami sebagai bagian dari pemerintah Amerika Serikat, untuk mencegah mereka (Rusia) dari campur tangan di negara kami, tidak hanya di dalam pemilihan, tetapi juga lebih luas," lanjut Pompeo berkomentar, sebagaimana dikutip dari CNN pada Jumat, 20 Juli 2018.
Pompeo melontarkan pendapat tersebut, beberapa hari setelah Presiden Donald Trump bertemu dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin di Helsinki pada awal pekan ini.
Presiden Trump disebut memprovokasi kemarahan di Washington, ketika menyatakan tidak sependapat dengan penilaian komunitas intelijen AS, bahwa Rusia ikut campur dalam pemilihan presiden 2016.
Advertisement