Pakar Prediksi Gelombang Panas Semakin Ekstrem dan Mematikan

Gelombang panas umumnya didefinisikan sebagai periode waktu minimal lima hari dengan suhu udara 5 derajat Celsius atau 9 derajat Fahrenheit lebih tinggi dari biasanya.

Oleh DW.com diperbarui 23 Jul 2018, 10:00 WIB
Gelombang Panas (Foto: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Gelombang panas menyengat sejumlah wilayah di dunia sejak Juni 2018. Gelombang panas yang tak biasa ini bahkan menyebabkan kebakaran hutan, menghancurkan tanaman pangan, serta menewaskan ratusan orang.

Gelombang panas umumnya didefinisikan sebagai periode waktu minimal lima hari dengan suhu udara 5 derajat Celsius atau 9 derajat Fahrenheit lebih tinggi dari biasanya.

Clare Nullis dari World Meteorological Organization mengatakan bahwa tren ke depannya sangat jelas, bahwa kita akan lebih sering mengalami gelombang panas ekstrem yang mungkin akan dirasakan lebih berat bagi orang-orang di utara Eropa.

Bagi orang dari Eropa selatan, suhu mencapai 30 derajat Celsius adalah hal yang wajar, tapi tidak demikian bagi orang dari Inggris dan Irlandia. Temperatur di Glasgow, UK, pada Juni lalu mencapai 31,9 Celsius padahal biasanya hanya sekitar 20 derajat.

Suhu lebih dari 30 derajat Celsius juga terjadi di Jerman pada Mei dan Juni. Di negara Georgia, suhu bahkan mencapai 40,5 derajat Celsius.

Sementara di Montreal, Kanada, suhu panas mencapai titik tertinggi dalam 147 tahun terakhir dan membunuh lebih dari 70 orang.

Belasan orang juga mati di Jepang dan lebih dari 2.000 orang lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan akibat panas.

Suhu lebih dari 30 derajat Celsius juga terjadi di Jerman pada Mei dan Juni dan negara Georgia bahkan mencapai 40,5 derajat Celsius.

Sementara itu, di Montreal, Kanada, suhu panas mencapai titik tertinggi dalam 147 tahun terakhir dan membunuh lebih dari 70 orang.

Belasan orang juga mati di Jepang dan lebih dari 2.000 orang lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan akibat panas.


Terlalu Panas untuk Bisa Bertahan Hidup

"Gelombang panas telah menyebabkan lebih banyak kasus kematian di Eropa dalam dekade ini dibandingkan dengan kejadian cuaca ekstrem lainnya,” kata Vladimir Kendrovski, petugas teknis untuk perubahan iklim dan kesehatan pada Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Suhu tinggi dapat meningkatkan jumlah polutan di udara dan mempercepat terjadinya reaksi kimia. Hal ini meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan pernapasan. Zat yang beterbangan di udara pun meningkat jumlahnya dalam cuaca panas ekstrem seperti serbuk sari yang dapat menyebabkan asma.

Sementara itu, temperatur tinggi yang tidak biasa pada malam hari bisa mengganggu kualitas tidur sehingga tubuh tidak bisa memulihkan diri dari panas di siang hari.

Simone Sandholz dari Institut Lingkungan Hidup dan Ketahanan Manusia, United Nations University, mengatakan kelompok umur yang rawan terkena penyakit akibat gelombang panas adalah anak kecil dan orang tua. Kebanyakan korban tinggal di area perkotaan dengan populasi tinggi dan minim sistem ventilasi udara yang layak. 

 

Saksikan juga video berikut ini:


Serangan serangga dan kegagalan panen

Suhu panas sangat disukai serangga. Di Inggris saja, telepon pengaduan mengenai keluhan akibat gigitan serangga meningkat hampir dua kali lipat pada awal Juli.

Masalah ini menjadi sangat mengkhawatirkan bagi negara-negara yang sangat rawan malaria atau demam berdarah. Nyamuk pembawa virus demam berdarah seperti Aedes aegypti kini juga ditemukan di wilayah-wilayah baru di antaranya karena kenaikan temperatur.

Sementara itu, kasus kebakaran hutan di sejumlah negara di Eropa juga meningkat, seperti di Inggris, Swedia, dan Rusia. Total sekitar 80.000 hektare hutan di negara tersebut telah rusak pada musim ini akibat kurangnya curah hujan dan terik matahari yang tidak biasa.

Para petani juga lebih sering mengalami kegagalan panen. Di Inggris, petani kacang polong dan selada harus berjuang memenuhi permintaan karena hasil panen yang rendah dan gagal panen di musim tanam ini. Gandum, brokoli, dan kembang kol adalah termasuk tanaman yang dipengaruhi oleh cuaca.

Di Jerman, para petani juga mengeluhkan panen gandum yang jauh lebih rendah karena panas dan kekeringan.

Joachim Rukwied, presiden Asosiasi Petani Jerman (DVB), mengatakan dalam sebuah pernyataan kalau beberapa petani memilih menghancurkan tanaman mereka daripada memanennya.

ae/rzn/DW

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya