Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan 9 anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia dari berbagai daerah. Adapun norma yang diujikan yaitu, Pasal 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 1 PNPS (Penetapan Presiden) tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (P3A/Penodaan Agama).
Para penggugat meminta ketiga pasal itu dihapuskan. Menurut penggugat, pasal-pasal itu multitafsir.
Advertisement
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dalam persidangan, di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Majelis memandang alasan para pemohon tidak berasalan menurut hukum. Pasalnya, pokok persoalan tersebut bukan berada pada pasal a quo, namun lebih kepada pembuatan aturan turunannya seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) atau pemberlakuan Peraturan Daerah.
Menurut Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, para pemohon telah mencampur adukan persoalan konstitusionalitas norma dalam UU 1/PNPS/1965 dengan tindaklanjut pelaksanaan UU aquo melalui SKB dan keputusan kepala daerah.
"Jika terdapat masalah atau kerugian akibat diberlakukannya SKB atau perda yang menjadikan UU 1/PNPS/1965 sebagai dasar pembentukannya, maka bukan berarti UU PPNS yang bertentangan dengan UUD 1945," jelas Palguna.
Sementara itu, menurut Hakim Wahiduddin Adams, undang-undang a quo itu memang membutuhkan revisi agar tidak terjadi kericuhan lantaran terjadi penafsiran berbeda terkait penodaan agama. Tetapi, untuk mengubah UU tersebut sedianya dilakukan dengan proses legislasi di DPR dengan melibatkan para pihak yang terkait.
"Memang membutuhkan revisi, hanya saja melalui legislasi biasa yang melibatkan para pihak," pungkasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini