Liputan6.com, Garut - Aksi teatrikal wanita muda yang satu ini menyedot perhatian warga Garut, Jawa Barat, bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada hari ini.
Dalam aksi solo di Hari Anak Nasional, ibu satu anak ini berdiri tegak membawa sebuah poster persis di tengah pintu masuk gerbang Kantor Bupati Garut. Tak ayal aksinya menghentikan setiap kendaraan yang masuk ke gedung Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut itu.
Menggunakan masker muka putih yang menutup muka keibuannya, tak lupa satu selendang plus boneka kecil di sampingnya, melengkapi baju ala kadarnya dan topi caping khas petani yang menutupi kepalanya, menjadi pemandangan aksi nekat ibu satu anak ini pagi tadi.
Aktivis Garut Governance Watch (GGW) ini lantang menyuarakan pentingnya perhatian pemerintah memberikan perlindungan, sekaligus memutus rantai kekerasan bagi ibu dan anak.
Baca Juga
Advertisement
"Aksi saya ini salah satu bukti keprihatinan sebagai perempuan sekaligus ibu, atas lemahnya perhatian pemerintah terhadap anak," ucap Leni Marlinda, 28 tahun, warga Margawati, Garut Kota, Senin (23/7/2018).
Menurutnya, perhatian Pemkab Garut terhadap kekerasan anak masih rendah. Lembaganya mencatat rata-rata kasus kekerasan anak di Indonesia terjadi sekitar 30 kasus per hari.
Sementara, khusus Garut pada medio Februari, kasus serupa berjumlah 20 kasus selama satu bulan. "Itu 20 yang terungkap, bagaimana dengan yang tidak terungkap," ujar dia.
Dengan kondisi itu, perlu ruang bagi pemerintah untuk mencurahkan perhatian dan penegakan hukum yang tegas, sehingga kasus kekerasan yang menghantui anak-anak, di kemudian hari mampu diatasi bersama.
"Sudah bukan zamannya lagi pemerintah berdiam diri, ke mana perannya dinas pemberdayaan perempuan?" ujar dia dengan nada tinggi.
Terakhir, seiring Hari Anak Nasional yang jatuh hari ini, Leni berharap pemerintah membuka mata dengan melihat realita yang ada, bahwa kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi terjadi di Garut. "Otak pemerintah itu tidak sinkron dengan apa yang harus dilakukan di lapangan," kata Leni.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hukuman Mati Pelaku Pedofilia
GGW menilai, tingginya kasus kekerasan yang menimpa anak merupakan buah dari lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Leni mencontohkan, pelaku kekerasan seksual pada anak atau pedofilia hanya dihukum maksimal 20 tahun.
Padahal, dampak yang ditimbulkan dari kasus itu terhadap korban sangat besar sekali. "Tidak hanya trauma seumur hidupnya, bisa saja dia mengikuti kelakuan serupa pelaku," kata dia.
Tak mengherankan, sekalipun pelaku banyak yang dibui, kasus serupa justru bukan mereda malam meningkat drastis di kemudian hari. "Saya harap sebagai efek jera hukuman mati saja," ujar dia.
Dengan upaya itu, ada tindakan tegas yang diberikan pemerintah sebagai warning bagi masyarakat secara luas, untuk memperhatikan dan menjaga buah hatinya dengan baik. "Kalau tidak ada hukuman mati, pasti berulang kembali," ujar dia.
Kesejahteraan yang Tidak Merata
Leni menambahkan, selain faktor lemahnya penegakan hukum, hal lain yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan kepada anak, akibat timpangnya kesejahteraan yang diberikan pemerintah.
Ia mencontohkan kasus gizi buruk yang selalu menghantui warga Indonesia. Hal ini menunjukkan masih tidak meratanya tingkat ekonomi.
"Terbaru kan di Papua, padahal sebenarnya itu bisa ditemukan juga di seluruh daerah, di Garut pun banyak (gizi buruk) kalau mau dicari," kata dia.
Adanya pembagian Program Keluarga Harapan (PKH) yang digulirkan pemerintah ujar dia, belum mampu menyelesaikan persoalan ekonomi warga sepenuhnya. Buruknya data pendataan warga pra sejahtera, diduga menjadi salah satu penyebabnya.
"Setiap tahun selalu ada pendataan, tapi kok yang dapat orangnya sama, tidak ada yang baru," ungkap dia.
Advertisement