Kalapas Sukamiskin Bungkam soal Kasus Suap Sel Mewah

Pada kasus ini, KPK baru menetapkan empat tersangka, yaitu Kalapas Sukamiskin, Fahmi, seorang tahanan pendamping, dan asisten kalapas.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 23 Jul 2018, 15:24 WIB
Kalapas Sukamiskin Wahid Husen usai pemeriksaan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, (Senin, 23/7/2018)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Kalapas Sukamiskin Wahid Husen terkait kasus suap jual beli fasilitas mewah. Pemanggilan terhadap Wahid dikarenakan ada kebutuhan administrasi penyitaan barang bukti.

"Ada kebutuhan administrasi penyitaan barang bukti," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Senin (23/7/2018).

Berdasarkan pantauan, Wahid keluar dari Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan pada pukul 14.15 WIB dengan mengenakan rompi oranye tahanan. Wahid bungkam saar dicecar sejumlah pertanyaan oleh para awak media terkait kasus yang menjeratnya.

Sebelumnya pada Sabtu, 21 Juli 2018, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen. Dalam rangkaian tersebut, Inneke juga turut diamankan dalam rangkaian OTT di rumahnya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Pada kasus ini, KPK baru menetapkan empat tersangka, yaitu Kalapas Sukamiskin, Fahmi, seorang tahanan pendamping, dan asisten kalapas.

Total uang yang diamankan KPK dalam OTT ini sebanyak Rp 279.920.000 dan USD 1.410. Selain itu ada dua mobil Wahid yang diamankan KPK karena diduga terkait suap. Jenis mobil tersebut adalah Mistubishi Triton Exceed warna hitam dan Mitshubishi Pajero Sport Dakkar warna hitam.

 


Kemudahan Keluar Masuk Tahanan

KPK menduga Fahmi, suami Inneke menyuap Wahid agar bisa mendapatkan kemudahan untuk keluar-masuk tahanan.

Dalam operasi senyap, tim penyidik menemukan adanya fakta jual beli kamar, jual beli izin keluar masuk tahanan. Tak hanya itu, tim menemukan sejumlah tempat dan tindakan mengistimewakan napi yang menyetor uang.

Untuk merasakan fasilitas tambahan, narapidana harus merogoh kocek yang dalam. Mereka harus menyetor uang berkisar Rp 200-500 juta. Menurut KPK, biaya itu bukan untuk per bulan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya