Liputan6.com, Semarang - Pagi hari memang menjadi simbol bangkitnya semangat. Namun, bagaimana jika pagi ini adalah yang terakhir dan besok kita tak bisa melihatnya lagi?
Budayawan Sudjiwo Tedjo bahkan harus memproklamirkan kecintaannya terhadap senja lebih kental daripada pagi. Agar hidup lebih reflektif.
"Kenapa aku suka senja? Karena negeri ini kebanyakan pagi, kekurangan senja, kebanyakan gairah, kurang perenungan," kata Sudjiwo Tedjo, suatu waktu.
Baca Juga
Advertisement
Barangkali Tedjo belum pernah menemukan semangat sebuah pagi yang terakhir. Pagi yang tak bisa dilihat lagi dan hanya akan menyisakan hamparan tanah kering tanpa kesegaran.
Itulah yang terjadi di kawasan tambak bandeng Tanggungrejo.
Warga Kampung Tanggungrejo di Kelurahan Terboyo Kulon, Kota Semarang, Jawa Tengah ini awalnya berjuang mempertahankan eksistensi tambak dari ancaman abrasi. Thomas Edy Johar salah satunya.
Ia bersama beberapa warga bahu-membahu membangun tanggul tambak agar limpasan air rob tidak menghanyutkan tambaknya.
"Di sini kalau pagi dan senja, pemandangannya sangat eksotis. Ini bukan soal tambak. Ini soal mengasah rasa," kata Thomas Edy Johar kepada Liputan6.com.
Simak video pilihan berikut:
Petambak Dibawakan Pentungan
Thomas dan warga lain sangat sadar memanfaatkan tanah negara sebagai tambak yang ditebari benih bandeng dan udang. Namun, keinginannya yang utama adalah membuat semacam pengaman kampung dari penenggelaman abrasi. Terlebih, sebuah perusahaan terus mereklamasi pantai Semarang hingga luasan tak terkira.
Menurutnya, proyek BKT adalah untuk membebaskan serbuan air banjir, tentu mereka sangat mendukung.
"Kami tak melawan proyek dan program negara. Tapi, kami manusia, hanya berharap diajak dialog. Sekadar kula nuwun pun kami tak diajak bicara," tutur Thomas.
Sangat mungkin pagi eksotis seperti yang diceritakan Thomas di tambak Tanggungrejo itu, hari-hari ini merupakan pagi yang terakhir.
Kebijakan Pemerintah Kota Semarang menunjuk tambak sebagai tempat pembuangan lumpur normalisasi Banjir Kanal Timur adalah ancaman lebih nyata dibanding abrasi yang lambat.
"Bahkan, kami tak sempat diajak dialog lebih lanjut. Warga sempat dijanjikan kompensasi Rp 10 juta per petak dan dipekerjakan di proyek itu," ucapnya.
Namun, semua dianggap omong kosong. "Dan tahu-tahu truk berdatangan dan kami diserbu ratusan Satpol PP Kota Semarang dengan pentungan," kata Thomas.
Advertisement
Dukung Pemerintah = Cerita Pilu?
Sebagai penggarap tanah negara, Thomas dan warga setempat tak pernah meminta ganti rugi atau ganti untung pembebasan lahan. Ia sadar secara aturan hukum sangat tidak memungkinkan.
Namun, jika diajak berdialog, setidaknya warga bisa bersiap dan tidak menebar benih dalam waktu yang berdekatan dengan hari pengurugan.
Pagi hari senantiasa menjanjikan semangat. Pun pagi di tambak bandeng Tanggungrejo. Tapi, semangat yang muncul menjadi berbeda, karena ini adalah semangat perlawanan.
"Melawan secara fisik jelas kalah. Kami hanya beberapa puluh orang. Satpol PP itu jumlahnya ratusan dan membawa pentungan, seperti berhadapan dengan binatang," kata Thomas.
Pagi di tambak Kampung Tanggungrejo hari-hari ini bisa jadi adalah pagi terakhir. Tak ada cerita eksotisme pantai menyambut matahari terbit dan terbenam. Yang tersisa adalah cerita pilu penggarap tambak, pendukung program pemerintah.