Risiko Penyakit Produk Alternatif Tembakau Lebih Kecil Dibanding Rokok Biasa

Produk tembakau alternatif dapat mengurangi risiko penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok, yang menggunakan rokok konvensional.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 24 Jul 2018, 17:00 WIB
Produk tembakau alternatif mengurangi risiko penyakit dibanding rokok konvensional. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya mengungkapkan, pilihan terbaik bagi perokok untuk terhindar dari risiko penyakit, yakni dengan berhenti merokok atau tidak menggunakan produk tembakau alternatif sama sekali. Namun, realita yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. 

Amaliya memahami, ada sejumlah perokok yang masih kesulitan untuk berhenti merokok. Oleh karena itu, perlu ada upaya nyata agar perokok dapat memilih produk tembakau alternatif, yang berpotensi lebih rendah risiko daripada rokok.

“Di YPKP, kami sudah melakukan beberapa penelitian terkait dengan produk tembakau alternatif. Dari penelitian yang baru saja kami lakukan dengan menilai kondisi mulut seorang perokok, non perokok, dan pengguna vape menunjukkan, pengguna vape memiliki risiko kesehatan dua kali lebih rendah dibandingkan perokok konvensional,”  jelas Amaliya, sesuai keterangan yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Selasa (24/7/2018).

Produk tembakau alternatif, seperti vape, produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, snuss, dan nikotin tempel adalah produk yang menggunakan konsep pengurangan bahaya (harm reduction). Hal ini membuat risiko kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan rokok.

"Metode harm reduction, yang terdapat dalam produk tembakau alternatif dapat mengurangi risiko penyakit yang terhubung dengan kebiasaan merokok (penyakit jantung, kanker)," Amaliya melanjutkan.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

 


Payung hukum produk tembakau alternatif

Liquid vape diperlihatkan saat pemberian izin perdana berupa NPPBKC, Jakarta, Rabu (18/7). Di dalam aturan yang berlaku 1 Juli 2018, liquid vape yang merupakan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dikenakan tarif cukai 57%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dalam pemberitaan terbaru, produk tembakau alternatif sudah punya payung hukum. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menetapkan  peraturan yang memberikan payung hukum bagi produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), termasuk produk-produk tembakau alternatif.

Peraturan yang diberlakukan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.146/PMK.010./2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang memberlakukan cukai terhadap produk HPTL, seperti rokok elektrik atau vape, molase tembakau, tembakau hirup, dan tembakau kunyah.

Ketua YPKP Indonesia, Achmad Syawqie Yazid mengungkapkan, peraturan bagi produk tembakau lainnya termasuk langkah yang tepat.

“Dalam audiensi-audiensi yang dilakukan, kami banyak memaparkan mengenai hasil-hasil penelitian yang menunjukkan, produk tembakau alternatif, seperti vape dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar punya potensi risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Senang sekali, pemaparan kami dapat memberikan pandangan terbaru seputar produk ini dan menjadi bahan pertimbangan," kata  Syawqie.


Penelitian produk tembakau alternatif

Liquid vape diperlihatkan saat pemberian izin perdana berupa NPPBKC, Jakarta, Rabu (18/7). Di dalam aturan yang berlaku 1 Juli 2018, liquid vape yang merupakan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dikenakan tarif cukai 57%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Syawqie menambahkan, YPKP akan memantau dan melakukan penelitian komprehensif untuk produk tembakau alternatif. Ini bertujuan menguak berbagai fakta ilmiah.

Senada dengan Syawqie, Amaliya menanggapi, adanya payung hukum yang jelas terkait produk tembakau alternatif diharapkan akan ada lebih banyak lembaga penelitian di Indonesia yang aktif melakukan kajian dan riset lebih jauh mengenai produk tersebut.

“Kami di YPKP sangat terbuka dan berharap dapat menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan komprehensif mengenai produk tembakau alternatif,” tutup Amaliya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya