Rupiah Menguat Berkat AS-Uni Eropa Capai Kesepakatan Dagang

Ekonom perkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bergerak di kisaran 14.000-14.475 pada Kamis pekan ini.

oleh Agustina Melani diperbarui 26 Jul 2018, 11:48 WIB
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Selasa pekan ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat pada perdagangan Kamis pekan ini.Hal itu ditopang dari sentimen eksternal.

Mengutip data Bloomberg, rupiah dibuka menguat 38 poin ke posisi 14.437 per dolar Amerika Serikat pada Kamis pagi (26/7/2018)dari penutupan perdagangan kemarin 14.475 per dolar AS. Hingga Kamis siang ini, rupiah bergerak di posisi 14.431-14.453 per dolar AS. Kini posisi rupiah di kisaran 14.453 per dolar AS.

Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menguat ke posisi 14.443 per dolar AS pada 26 Juli 2018 dari posisi 25 Juli 2018 di kisaran 14.515 per dolar AS.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, pergerakan rupiah masih lebih dipengaruhi faktor eksternal. Salah satunya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang sepakat dengan Uni Eropa untuk menurunkan pengenaan tarif barang impor. Hal itu meredakan perang dagang. Dengan sentimen itu, menurut Josua membuat dolar Amerika Serikat melemah terhadap mata uang lain.

Meski demikian, Josua mengingatkan kekhawatiran perang dagang masih akan terjadi mengingat AS dan China belum ada sinyal kata sepakat soal perdagangan. Selain itu, pernyataan Trump tidak suka dengan kenaikan suku bunga the Federal Reserve pada 2018 dan 2019 juga pengaruhi dolar AS.

"Saya kira dua faktor itu membuat rupiah menguat terhadap dolar AS. (Perang dagang) juga cooling down, karena masih ada AS dan China, sedangkan Uni Eropa dan AS tunda kenaikan tarif," kata Josua saat dihubungi Liputan6.com.

Sedangkan dari internal, Josua melihat Bank Indonesia berupaya stabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Salah satu kembali terbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 9-12 bulan pada awal pekan ini.

Josua perkirakan, rupiah bergerak di kisaran 14.000-14.475 pada Kamis pekan ini. Ia menambahkan, pelaku pasar juga menanti rilis data ekonomi AS antara lain data pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II, tenaga kerja dan inflasi pada Jumat pekan ini. Demikian juga pada awal pekan depan ada rilis data ekonomi dari Indonesia.

"Bila pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II tak sesuai maka dolar AS akan melemah," ujar dia.

 


Rupiah Tak Seharusnya Tembus 14.000 per Dolar AS, Ini Sebabnya

Petugas menunjukkan mata uang dolar dan mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Rabu (9/11). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada saat jeda siang ini kian terpuruk di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, pelaku pasar diharapkan tidak terlalu cemas menghadapi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Apalagi menyamakan depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi pada 2018 dengan yang pernah terjadi pada 1998.

"Depresiasinya (tahun 1998) bukan seperti sekarang. Sekarang memang Rp 14.400, tapi kan awalnya dari Rp 13.700. Jadi sebenarnya marginnya hanya dari Rp 13.700 ke Rp 14.400," ujar ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono ketika ditemui, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa 24 Juli 2018.

"Tahun 1998 loncatnya dari Rp 2.300 ke Rp 15.000. Jadi harap dibedakan. Orang jangan membandingkan Rp 14.400 mirip 1998 Rp 15.000. Enggak mirip. Karena 1998 loncat, free fall, dari Rp 2.300 ke 15.000," kata dia.

Selain itu, pasar juga diharapkan lebih rasional dalam menilai kondisi politik dalam negeri menjelang pemilu legislatif maupun pemilihan presiden.

Tony mengatakan, kondisi politik dan ekonomi saat ini jauh lebih kondusif, sehingga pasar seharusnya tidak perlu terlalu berpersepsi negatif.

"Indonesia tidak pernah mengalami chaos, kecuali tahun 1965 dan 1998. Itu penyebabnya awalnya bukan politik, tapi hyper inflation 1998 krisis rupiah terdeprisiasi," kata dia.

"Jadi karena itu pasar jangan terlalu nervous dengan hal ini. Harus rasional angka-angka itu ada penjelasannya. Ada the story behind," kata Tony.

Meskipun dalam pandangannya, depresiasi rupiah saat ini sudah keluar dari nilai fundamentalnya, tapi dia yakin nilai tukar rupiah masih akan kembali menguat. 

"Ya jujur saja Rp 14.400 sudah di bawah di luar ekspektasi dan fundamental. Dugaan saya fundamental, kalau berkaca pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, devisa, tidak layak rupiah itu Rp 14.400. Berarti masih ada persepsi yang kurang tepat terhadap rupiah. Yang sesuai fundamental Rp 13.700 sampai Rp 14.000. Masih ada room untuk menguat," ujar dia.

Seperti diketahui, bila melihat kondisi makro ekonomi Indonesia, kuartal I 2018, ekonomi Indonesia tumbuh 5,06 persen. Bank Dunia prediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen pada 2018.

Sementara itu, cadangan devisa Indonesia tercatat USD 119,39 miliar per 30 Juni 2018. Inflasi secara year on year (YoY) tercatat 3,12 persen. Target inflasi pada 2018 sekitar 3,5 persen plus minus 1 persen.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya