Liputan6.com, Ambon - Tidak banyak yang mengenal warga suku terasing yang mendiami pedalaman hutan Pulau Seram, Maluku. Nama salah satu suku yang mencuat adalah Suku Mausuane yang kini terserang bencana kelaparan.
Selain Mausuane, terdapat pula Suku Mausu, Suku Fond, Suku Mainkem, Suku Koa-koa, dan Suku Kamu-kamu yang sampai sekarang masih bertahan hidup di pedalaman hutan.
Syafsudin Syafsuha, salah satu pegiat lingkungan di Maluku Tengah yang pernah memotret kehidupan suku asing di pedalaman hutan Pulau Seram menuturkan, suku Mausuane dan beberapa suku lainnya telah mengenal Tuhan. Mereka menyebutnya sebagai Yalahatala.
"Pada medio Maret 2018, sebanyak enam orang perwakilan enam suku, masing-masing Koa-koa, Mainkem, Yamalise, Fond, Kamu-kamu, dan Bati mendatangi Koramil dan Polsek Wahai. Mereka didampingi Bikhu Misionaris Banthe Chittaghutto MT dan seorang volunteer, Hellen Lie meminta didata sebagai penduduk Kabupaten Maluku Tengah," tutur Syafsudin, Rabu, 25 Juli 2018.
Baca Juga
Advertisement
Mereka hidup berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Mereka juga jauh dari modernitas, tidak bisa berbahasa Indonesia, bahkan sampai sekarang belum terdata dalam catatan negara sebagai warga Indonesia.
"Belasan suku dan ratusan kepala keluarga itu hingga kini belum terdata dalam administrasi kependudukan di Maluku Tengah, Seram Bagian Timur maupun Provinsi Maluku," kata Syafsudin.
Suku-suku tersebut belum tersentuh pembangunan. Mereka tak memiliki akses kepada fasilitas kesehatan dan pendidikan. Rumah yang ditempati mereka tak berdinding, hanya beratap rumbia dan berlantai tanah.
Suku Mausuane dan beberapa suku lainnya memiliki kebiasaan tinggal berpindah-pindah bukan karena hasil kebun mereka habis. Ada tradisi yang mengharuskan mereka meninggalkan rumah yang ditinggali anggota keluarga yang meninggal dunia.
Sebelum pindah, rumah yang ditinggalkan akan dibakar. Lalu, anggota komunitas lainnya mencari tempat tinggal lain yang jauh dari tempat semula.
Pada medio 2017, Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Maluku Tengah telah bertatap muka dengan Suku Yamalise melalui perantara Sekretaris Desa Kobisonta. Dalam program Komunitas Adat Terpencil (KAT) itu, rencananya mereka akan direlokasi ke daratan rendah.
Namun, kebijakan itu bertolak belakang dengan kebiasaan mereka yang masih nomaden.
Bukan Kelaparan Pertama
Terkait bencana kelaparan yang dihadapi warga suku terasing ternyata bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 2015 juga pernah terjadi bencana serupa.
Saat itu penyebabnya bukan gagal panen seperti saat ini, melainkan kebakaran hutan yang merupakan sumber utama kehidupan mereka. Bahkan, sebagian warga suku terasing menderita asma karenanya.
Pemerintah dan pihak terkait kemudian berusaha menyalurkan bantuan logistik. Tetapi, keberadaan mereka yang tak bertahan lama di satu tempat menjadi tantangan.
Di pihak lain, perpindahan warga suku terasing tak bisa disalahkan. Mereka pindah dari dataran tinggi ke dataran rendah karena faktor minimnya bahan makanan dan sumber air.
Ada juga faktor investasi perkebunan dan pertambangan-pertambangan raksasa serta izin pemanfaatan hutan dan kayu. Sebagian besar hutan di seram Utara yang ditinggali suku terasing telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan sawah. Syafsuddin menilai pemerintah dan swasta memaksa suku-suku ini kembali ke padalaman dengan memanfaatkan sisa ekosistem dari degradasi hutan. Mereka seakan tercerabut dari akar kebudayaan dan kehidupan di tempat semula.
"Seram Utara Barat terdapat perkebunan sawit sampai ke Seram Utara. Perusahan kayu dari arah Liang Aweya bertemu sawit di Seram Utara Barat," katanya.
Selain itu, dari arah Selatan Pulau Seram sedang dilakukan penebangan kayu oleh salah satu perusahan dengan masa kontrak 45 tahun ke depan. Sementara, diujung Seram Bagian Barat telah menerima dampak banjir, tanah longsor akibat penebangan hutan dalam skala besar yang berpusat di Waisarissa.
Advertisement
Pemerintah Dinilai Gagal
Abdul Manaf Tubaka, akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon yang pernah meniliti tentang identitas suku terasing di pegunungan Pulau Seram menilai, bencana kelaparan yang melanda suku terasing di kaki Gunung Murkelle karena kelalaian pemerintah.
"Warga suku terasing yang mendiami hutan Pulau Seram akan sulit terkena kelaparan, dan jika terkena kelaparan maka ada yang perlu dikoreksi. Ke mana pemerintah selama ini?" ujar Manaf.
Berdasarkan pengalamannya meneliti suku terasing di pedalaman hutan Pulau Seram untuk memenuhi gelar doktornya, mereka memiliki pola sosial yang berbeda. Maka itu, pendekatan yang dilakukan pemerintah harus berbeda pula antara satu suku dengan suku yang lain.
Misalnya saja generasi Suku Naulu dan Hoaulu, walaupun identitas mereka tidak pernah ditanggalkan seperti ikat kain berang merah yang sampai sekarang mereka gunakan, saat ini mereka telah bersatu dengan peradaban modern. Anak-anak mereka pun disekolahkan sampai tingkat pendidikan sarjana.
"Ada sebagian tinggal di dataran rendah berdekatan dengan pesisir, suku-suku ini telah bersatu dengan modernitas, sebagian lagi masih didataran tinggi yang masih jauh dari peradaban," tuturnya.
Hal lainnya jika warga suku terasing terutama yang terkena bencana kelaparan belum terdata sebagai warga negara, sesungguhnya pemerintah daerah selaku institusi negara telah gagal melaksanakan tanggung jawab mereka dengan baik.
Selain itu pula, pemerintah tidak boleh alergi atau pasrah dengan sikap warga suku asing, mereka harus diberlakukan sama dengan warga negara lainnya. Anggapan bahwa warga suku asing masih memiliki tradisi yang kasar harusnya tidak menjadi alasan untuk dijauhi.
"Saya mendengar bahwa ada yang menyebut mereka masih "kanibal", itu salah. Pernyataan seorang pejabat negara tidak boleh seperti itu," tuturnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: